Kamis, 25 April 2013

Gelar Abah Guru Sekumpul waktu kecil


suatu malam, abah guru mendapatkan mimpi, merasakan seolah-olah berada disebuah padang pasir, sejauh mata memandang hanya sahara yang membentang, dari kejauhan tampak fatamorgana seperti genangan air, meski sebenarnya hanyalah biasan cahaya matahari.

Tegak di samudera pasir yang luas, seperti sebuah keajaiban yang muncul di tengah-tengah misteri ketidakpastian. Tidak mungkin rasanya bangunan tersebut milik salah satu suku Arab, lantas, kenapa hanya ada satu, di mana yang lainnya?, bila ternyata bangunan itu milik seorang musafir, lalu kenapa terlihat berdiri kokoh, menyiratkan bahwa ia adalah sebuah tempat tinggal untuk jangka waktu yang tidak sebentar?.

Langkah kaki Abah Guru terhenti manakala jarak yang tersisa antara dia dan bangunan itu hanya tinggal beberapa langkah, siapa pemilik bangunan, apakah dia sedang berada didalam, sebuah pertanyaan menyelimuti benaknya. Tiba-tiba di tingkat atas muncul seorang wanita Arab, yang meskipun busananya tertutup namun kecantikannya memancar menembus sekat-sekat bernama kain, melemparkan sesuatu kepada Abah Guru , Abah Guru memungut benda itu sambil hatinya bertanya-tanya. Namun keheranannya itu tidak membuatnya surut untuk terus melangkah. Ditengah semesta diamnya, yang mengitari pikirannya. Abah guru tiba-tiba dikejutkan oleh sebuah goncangan, bumi yang dipijak terasa bergetar.. Abah Guru tersentak, apa yang terjadi, suara apa itu, dari mana asalnya?, berbagai pertanyaan muncul tanpa rekayasa.

Abah Guru yang keheranan terus melangkahkan kakinya, sampai tidak jauh dari bangunan itu dia bertemu dengan dua orang pemuda, tegap, tampan, bahkan sangat tampan. Pemuda pertama yang lebih tua, terlihat penuh kharisma sekaligus menunjukkan kesantunan yang menyentuh relung hati setiap orang yang memandangnya, sementara yang lebih muda, nampak kekar bagai seorang mujahid, yang setiap saat siap menghadapi berbagai tantangan, sosok pria pemberani tergambar jelas dari raut mukanya.

Abah gurupun akhirnya terlibat dialog dengan kedua orang tersebut, sampai akhirnya..
“Kamu, kami berikan gelar Zainal Abidin”.

Abah Guru terdiam, Zainal Abidin …. sebuah gelar yang pernah mengukir sejarah, yang bahkan kebakaran di rumahnya sendiri tidak sanggup mengusiknya dari ibadah, dialah Sayyidina Ali Zainal Abidin, satu-satunya putera Sayyidina Husein sang Syahid Agung, yang selamat dari pembantaian di medan Karbala, putera Sayyidatina Fathimah az-Zahra; puteri Rasulullah SAW. Dialah orang pertama yang menyandang gelar Zainal Abidin; perhiasan cantik para ahli ibadah, karena ‘abid yang manapun, dari belahan bumi manapun, akan tertunduk malu bila berhadapan dengan catatan sejarah hidupnya, hanya dengan kisah tentang ibadahnya… apalagi kalau bertemu dan melihat langsung bagaimana asyiknya dia bersama Rabb-nya.

Abah Guru mungkin merasa malu, bagaimana tidak? Karena gelar tersebut bukan sembarang gelar, gelar adalah gambaran dari orang yang menyandangnya dibahunya, arti hakiki dari gelar tersebut, pertanda apa sehingga dia mendapatkan anugerah sebesar ini.

Saat ia merenung, ia melihat tanah yang berada di samping bangunan tersebut tiba-tiba bergerak laksana gelombang air laut. Kemudian Abah Guru bertanya kepada keduanya :

“Kenapa bumi tadi bergetar?” ucapnya.
“Itu adalah makam ayahanda, Ali Ibn Abi Tholib”

Abah Guru bertanya lagi kepada mereka berdua tentang perempuan yang melempar sesuatu kepadanya tadi :

“Kalau perempuan yang diatas bangunan tadi?”,
“Ibunda Fathimah” jawab mereka berdua.

Jawaban itu menjadi tafsir yang menguak tabir misteri ketiga orang ini. Yah, karena ketiga manusia yang mengundang kekaguman itu adalah al-Bathul; Sayyidatina Fathimah, sang pemuka para wanita surga, al-Hasan dan al-Husein, dua pemuda penghulu sorga, cucu dan pendingin mata Baginda Rasulullah SAW. Mereka adalah tiga orang ahlul kisaa , yang mengiringi turunnya ayat Tathir dalam surah al-Ahzab :

إِنَّمَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيُذْهِبَ عَنكُمُ الرِّجْسَ أَهْلَ البَيْتِ وَيُطَهِّرَكُمْ تَطْهِيراً
mereka adalah ahlu bait-nya Musthofa SAW.

Sebuah mimpi yang teramat indah, yang mungkin didambakan semua muhibbin ahli bait-nya Rasulullah SAW. Mimpi yang merupakan sebuah pertanda baik atau bisyarah untuk seorang hamba Allah yang sedang meniti jalan hidupnya menuju sebuah “kehambaan” yang sebenarnya, kedudukan yang paling tinggi di hadapan Sang Penguasa Semesta, Pencipta jagat raya, Allah SWT.

Meski Abah Guru mendapat bisyarah, mimpi bertemu dengan orang-orang mulia itu, namun dia tidak pernah menceritakan mimpi itu kepada siapapun, semua tetap mengendap dalam otaknya. Hingga suatu saat diceritakan oleh Guru Marzuki saat bertemu dengan Zaini di sebuah acara. Guru Zuki, begitu panggilan beliau, melemparkan pertanyaan yang membuat Zaini terkejut.

“Ikam wayah ini bangaran Zainal Abidin kah?” (Kamu sekarang ini bernama Zainal Abidin kan?) tanya Guru Zuki.
Zaini hanya diam, pertanyaan ini mengingatkannya pada mimpi yang dialaminya itu.
“Ada kalu ikam tamimpi?” (Bukankah kamu ada bermimpi?) sambung Guru Zuki. Zaini hanya menunduk, ternyata ulama yang satu ini tahu perihal mimpinya, padahal sebelumnya dia tidak pernah bercerita kepada siapapun tentang mimpi itu.

Notes : Kubah Guru Zuki dibelakang Kubah Guru Kasyful Anwar di Kampung
Melayu Martapura

Moga menambah kecintaan kita pada abah guru dan mendapatkan Rahmat Allah mengisahkan para Kekasih-Nya ( Aulia Allah ) … aamiinn

Artikel Terkait

0 komentar:

Posting Komentar