Selasa, 23 Mei 2017

Antara Iman dan Ilmu



Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu meriwayatkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Amal yang paling utama adalah beriman kepada Allah, kemudian jihad” (HR. Muslim). Maka iman merupakan perkara yang paling pokok, dibandingkan amalan-amalan lain dalam hal tingkatan maupun keutamaannya. Adapun iman memiliki dua rukun : [1] mengenal (ma’rifah) apa yang dibawa oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan mengilmuinya, dan [2] membenarkannya (tashdiq) dengan perkataan dan perbuatan. Tanpa ilmu, hal ini adalah mustahil. Kedudukan ilmu dengan iman laksana ruh dengan jasad, demikian pula pohon iman tidak akan dapat tegak kecuali dengan batangnya, yaitu ilmu dan ma’rifah. (Al ‘Ilmu Fadhluhu wa Syarafuhu, Ibnul Qayyim). Iman tidak dapat diperoleh melainkan dengan ilmu, yaitu mengenal Allah ‘Azza wa Jalla, mengenal Nabi-Nya, dan mengenal Islam beserta dalil-dalilnya. (Syarh Ushul Ats Tsalatsah, Syaikh Shalih Al Fauzan hafizhahullah).

Ilmu : Mengenal Allah, Nabi-Nya, dan Islam

Disebutkan dalam hadits yang terdapat dalam Shahih Bukhari dan Muslim dan kitab-kitab lainnya, dari Al Bara’ bin ‘Azib dan sahabat lainnya radhiyallahu ‘anhum, yaitu mengenai pertanyaan yang ditujukan kepada mayat dalam kuburnya. Pertanyaan tersebut yaitu : “Siapa Rabbmu?”, “Apa agamamu?” dan “Siapa laki-laki ini yang diutus kepada kalian (untuk membawa risalah Islam – yaitu siapa Nabimu)?” Seorang mukmin akan menjawab dengan tegas bahwa Allah adalah Rabbnya, Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah Nabinya, dan Islam adalah agamanya. Adapun seorang munafiq atau seorang yang ragu akan berkata, “Hah! Hah! Aku tidak tahu! Aku mendengar manusia berkata demikian maka aku pun berkata demikian!” Kemudian ia dipukul dengan gada dari besi yang didengar oleh seluruh makhluk kecuali manusia. Seandainya manusia mendengarnya, pasti dia akan jatuh pingsan.” (At Tanbihatul Muhtasharah, Syaikh Ibrahim Al Khuraishi)

Mengenal Allah yaitu mengenal-Nya melalui sifat-sifat-Nya yang Allah terangkan dalam Kitab-Nya, dan sifat-sifat-Nya yang Allah jelaskan dengan perantara Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam, melalui nama-nama, sifat-sifat-Nya, dan perbuatan-Nya. Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Allah Ta’ala mencela siapa saja yang tidak mengagungkan-Nya dengan sebenar-benar pengagungan, tidak mengenal-Nya dengan sebenar-benar pengenalan, dan tidak mensifati-Nya dengan sifat yang benar” (Ash Shawa’iqul Mursalat dalam Taisirul Wushul).

Mengenal Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, mulai dari nasab beliau, yaitu Muhammad bin Abdillah bin Abdil Muthalib bin Hasyim bin Abdi Manaf hingga sampai kepada Nabi Ibrahim ‘alaihissalam, mengenal bagaimana kehidupan beliau sebelum menjadi Rasul, bagaimana ketika datangnya wahyu dari Allah, dan bagaimana amal perbuatan beliau semenjak diutus menjadi Rasul. Hal ini dapat diketahui dengan mempelajari sirah/perjalanan hidup Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tentunya konsekuensi dari mempelajari hal ini adalah menerima segala yang datang dari Allah melalui Rasul-Nya, berupa petunjuk dan dinul haq. Mengenal Islam beserta dalil-dalilnya. Hal ini hanya dapat diperoleh dengan menuntut ilmu syar’i sebagaimana dijelaskan di bawah ini.

Ilmu Apa Yang Wajib?

Ilmu dibagi menjadi dua jenis. Pertama, ilmu yang wajib dituntut oleh setiap individu. Tidak ada seorang pun yang diberi udzur (dispensasi) atas ketidaktahuannya. Ilmu ini mencakup setiap hal yang agama dapat tegak dengannya. Contoh, rukun-rukun Islam yaitu syahadat, shalat, zakat, shaum Ramadhan, dan haji ke Baitullah. Imam Ahmad rahimahullah berkata, “Wajib (bagi seorang muslim –pent) untuk menuntut ilmu yang agamanya dapat tegak dengan ilmu tersebut” Beliau kemudian ditanya, “Apa saja contohnya?”. Beliau menjawab, “Yaitu apa saja yang dapat segera menghilangkan kebodohan dari dirinya, semisal (ilmu tentang) shalat, shaum, dan semacam itu.” (Al Furu’ li Ibni Muflih dalam Taisirul Wushul)

Termasuk dalam hal ini mengenal lawannya, seperti mengenal pembatal-pembatal syahadat. Begitu pula mempelajari secara rinci rukun-rukun shalat, syarat-syarat shalat, yang wajib dilakukan dalam shalat, sunnah-sunnah dalam shalat, dan pembatal-pembatal shalat. Perincian ini juga wajib diketahui bagi poin-poin rukun-rukun Islam yang lain.

Kedua, yaitu ilmu tentang hukum- hukum syariah yang dibutuhkan oleh ummat, dan bukan oleh masing-masing individu. Semisal hukum jual beli dan muamalat, hukum terkait wakaf, ilmu waris, dan wasiat, hukum-hukum pernikahan, jinayat. Hukum-hukum tersebut apabila dipelajari oleh sekelompok dari ummat hingga menjadi seorang ‘alim di bidangnya, niscaya mencukupi. Karena tugasnya bagi ummat adalah memutuskan hukum, memberi fatwa, dan mengajarkan ilmu tersebut. Oleh karena itu ilmu ini hukumnya fardhu kifayah, apabila semua individu meninggalkannya mereka akan berdosa. (diringkas dari Syarh Tsalatsatul Ushul, Syaikh Sholih Fauzan)

Ilmu Membuahkan Amal

Tujuan ilmu adalah untuk diamalkan. Ilmu adalah sesuatu yang dituntut ketika seseorang akan beramal dan merealisasikan ‘ubudiyah kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Maka merealisasikan ubudiyah kepada Allah dilakukan dengan dua perkara : Ilmu yang bermanfaat, dan amalan yang shalih. Sebagaimana firman Allah Ta’ala, “Dialah yang telah mengutus RasulNya (dengan membawa) petunjuk (Al-Quran) dan agama yang benar” (QS. At Taubah : 33). “Al Huda” ialah ilmu yang bermanfaat, sementara “dinul haq” ialah amalan yang shalih yang dapat mendekatkan diri kepada Allah ‘Azza wa Jalla.

Disyariatkan pula kepada kita untuk membaca surat Al Fatihah hingga doa yang paling penting dan paling agung, “Tunjukilah Kami jalan yang lurus. Yaitu jalannya orang-orang yang Engkau beri nikmat, dan bukan jalan orang yang dimurkai dan bukan pula jalan orang-orang yang tersesat” (QS. Al Fatihah : 6). Orang-orang yang diberi nikmat ialah ahli ilmu dan amal. Orang-orang yang diberi murka adalah ahli ilmu namun tanpa amal, yaitu Yahudi. Orang-orang yang tersesat ialah ahli amal namun tanpa ilmu, yaitu Nashara.

Demikian pula datang dari hadits Abu Barzah Al Aslami radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak akan beranjak kaki seorang hamba pada hari kiamat hingga ia akan ditanya empat hal : kemudian beliau ‘alaihi shalatu wa sallam menyebutkan : tentang ilmunya apa yang telah ia amalkan dengannya?” (dalam hadits riwayat Tirmidzi, hasan shahih).

Oleh karena itu, wajib bagi seorang yang berilmu untuk mengamalkan ilmunya. Sekadar apa yang telah ia ketahui, diamalkan. Karena demikianlah dahulu para ulama menjaga hafalan ilmu mereka. Demikian pula tanda seorang yang berilmu diketahui lewat amalannya. Fudhail bin Iyadh rahimahullah berkata, “Senantiasa seorang yang berilmu menjadi orang yang bodoh, hingga ia mengamalkan ilmunya. Jika ia telah beramal dengannya, barulah ia menjadi orang yang berilmu.” (diambil dari Tsamaratul ‘Ilmi Al ‘Amal, Syaikh Abdurrazzaq bin Abdil Muhsin Al Badr)


Artikel Terkait

0 komentar:

Posting Komentar

Arsip Blog