Senin, 12 Februari 2018

Istilah Tasawuf Al-Ghaibah Wa Al -Hudlur



Gaibah adalah ketiadaan (kekosongan) hati dari ilmu yang berlaku bagi ahwal (kondisi atau perilaku) makhluk karena (terhalang oleh) kesibukan rasa dengan “sesuatu yang datang” (warid, kehadiran rasa alam spiritual) kepadanya. Kemudian, keberadaan rasa terhadap diri dan lainnya menjadi ghaibah (gaib atau hilang) sebab kehadiran warisitu yang berwujud dalam bentuk kesadaran akan ingatan pahala dan siksa.


Diriwayatkan bahwa ketika Rabi’bin Khaitsam berkunjung ke rumah Ibnu Mas’ud r.a. dan lewat di depan kedai seorang pandai besi, dia melihat sepotong besi yang dibakar di tungku perapian besi dalam keadaan merah membara. Tiba-tiba matanya tidak kuat memandang lalu pingsan seketika. Setelah siuman, Rabi’ ditanya, lalu menjawab, “Saya ingat keadaan penduduk neraka (yang sedang dibakar)di neraka”.

Sebuah kejadian yang sangat aneh pernah menimpa Ali bin Husin. Rumah yang ditempatinya terbakar saat dia menjalankan salat, dan dia tidak bergeming sedikitpun dari sujudnya ketika api mulai menjalar ke tempatnya salat dan kemudian memusnahkan rumahnya. Para tetangganya heran, lalu menanyakan keadaannya”. Api yang amat besar sangat menggelisahkanku dari pada api ini” jawabnya.

Terkadang kondisi ghaibah disebabkan oleh ketersingkapan sesuatu dalam dirinya dengan Al-Haqq, kemudian keberadaannya berbeda menurut perbedaan ahwal-nya

Keadaan(hal) yang mengawali Abu Hafsh An-Naisaburi saat meninggalkan pekerjaannya di kedai pandai besinya dimulai dari peristiwa pembacaan ayat suci Al-Qur’an yang dia dengar dari seorang qari’. Bacaan itu mempengaruhi hatinya sehingga membuatnya lupa tentang “rasa “ saat suatu warid datang menguasai jiwanya. Kemudian tangannya dimasukkan ke dalam api dan mengeluarkan potongan besi panas yang sedang membara tanpa merasakan panas sedikit pun. Seorang muridnya melihatnya dengan heran lalu berteriak, “Wahai Guru, ada apa ini?” Abu Hafsh sendiri heran, lalu melihat apa yang terjadi. Semenjak itu, dia bangun dan meninggalkan pekerjaannya sebagai pandai besi.



Saya pernah mendengar Abu Nasher, seorang muazin Naisabur yang sangat saleh, menuturkan pengalaman spiritualnya, “Saya pernah baca Al-Qur’an di majelis Abu Ali Ad-Daqaq ketika beliau di Naisabur. Beliau banyak mengupas masalah haji sampai fatwanya sangat mempengaruhi hati sya. Pada tahun itu juga saya berangkat ke Mekkah utuk melaksanakan ibadah haji dan meninggalkan pekerjaan dan semua aktivitas keduniaan. Ustadz Abu Ali sendiri, semoga Allah merahmatinya, juga berangkat menunaikan haji pada tahun itu pula. Ketika beliau masih tinggal di Naisabur sayalah yang melayani keperluan beliau juga membacakan Al-Quran di majelisnya. Suatu hari saya melihat beliau di padang sahara sedang bersuci dan lupa (meninggalkan) sebuah tempayan yang tadi di bawanya. Lalu saya ambil dan mengantarkannya ke binatang tunggangannya dan meletakkan di sisinya. “Semoga Allah membalasmu dengan kebaikan atas apa yang kamu bawakan ini”, sambutnya sederhana. Kemudian beliau memandang saya cukup lama, seakan-akan belum pernah melihat saya sama sekali.”Saya baru melihatmu, siapakah Anda?”.

Subhanallah!Permohonan bantuan memang hanya pada Allah. Saya telah lama melayani Tuan. Saya keluar dan meninggalkan rumah dan harta bendaku gara-gara Tuan. Padang sahara yang sangat luas kemudian memutusku, dan sekarang Tuan mengatakan , saya baru melihatmu…!”

Adapun Hadhur adalah keberadaan “hadir” bersama Al-Haqq karena jka seseorang mengalami ghaibah (gaib) dari keberadaan semua makhluk, maka dia “hadir” (hadhur) bersama Al-Haqq. Artinya, keberadaannya seakan-akan “hadir” dikarenakan dominasi ingatan Al-Haqq (zikir) pada hatinya. Dia hadir dengan hatinya dihadapan Tuhannya. Dengan demikian, ke-ghaibah-annya dari keberadaan makhluk menjadikannya hadhur(hadir) bersama Al-Haqq. Jika semua yang ada ini pada sirna, maka keberadaan hadhur mengada menurut tingkat ghaibah-nya. Jika dikatakan “fulan hadir”, artinya dia hadir dengan hatinya ke haribaan Tuhannya dan lupa pada selain-Nya, kemudian dalam ke-hadhur-annya segalanya menjadi tersingkap menurut derajatnya dengan curahan sejumlah makna( pengertian, kesadaran, dan kerahasiaan ketuhanan) yang dikhususkan Allah untuknya.

Terkadang dikatakan (bahwa keberadaan hadhur) dikarenakan kembalinya Salik pada rasanya dengan ahwal jiwanya, dan ahwal kemakhlukan yang kembali (kepada Tuhannya)dari alam ghaibah-nya. Yang pertama hadhur denganAl-Haqq, dan yang kedua hadhur dengan makhluk. Ahwal manusia dalam maqam ghaibah berbeda-beda. Sebagian mengalaminya tidak terlalu lama, sebagian lagi dalam masa yang abadi (sampai mati).

Dikisahkan bahwa DzunNun Al-Mishri, seorang guru sufi besar, pernah mengutus seseorang dari pengikutnya datang ke rumah Abu Yazid Al-Busthami untuk mempelajari sifat-sifatnya. Setibanya di kota Bustham, utusan ini bertanya pada seseorang tentang rumah Abu Yazid, kemudian pergi menuju tempat yang ditunjuk dan bertamu kerumahnya. Di sana terjadi dialog teologis yang sangat menawan.

“Apa yang kamu kehendaki?” Tanya Abu Yazid

“Tuan Abu Yazid.”

Siapakah Abu Yazid? Di mana Abu Yazid? Saya sendiri dalam pencarian Abu Yazid?”

Utusan ini keluar seraya berteriak, “Dia Gila!” Kemudian dia kembali ke rumah gurunya, Dzun Nun dan melaporkan semua yang disaksikan. Tiba-tiba Dzun Nun menangis, “Saudaraku. Abu Yazid telah pergi bersama orang-orang yang pergi menuju Allah.”

Ingin Di Cium Rasulullah SAW



Dalam dunia tasawuf, dikenal seorang yang bernama Syibli. Lengkapnya: Abu Bakar Dalf bin Jahdar as-Syibli. Orang menyebutnya majnun, alias gila, sinting, nyeleneh.

Dia pernah memakai celak mata yang dicampur dengan garam, supaya ia tidak tertidur di waktu malam. Dengan begitu, ia bisa menghidupkan malam dengan shalat-shalat sunnat.

Jika datang bulan Ramadhan, maka ia makin giat beribadah melebihi orang-orang di masanya. Mungkin inilah sebagian dari ke-sinting-an Syibli. Syibli lahir dan besar di Baghdad. Dia bersahabat dengan Junayd al-Baghdadi dan para ulama di masanya. Dia bermazhab Maliki. Wafat pada tahun 334 H atau 946 M, dan dimakamkan di Baghdad.

Syibli memang punya karamah. Dalam kitab Syarh Ratib al-Haddad, diceritakan bahwa Syibli mendatangi majelis Abu Bakar bin Mujahid. Melihat Syibli datang, Abu Bakar bangun dari duduknya, menyambutnya, memeluknya,dan mencium keningnya.



Setelah kejadian itu, Abu Bakar ditanya oleh salah satu muridnya, "Duhai Guruku, engkau melakukan yang demikian kepada Syibli? Padahal, engkau dan semua penduduk Baghdad menganggapnya sinting?"

Abu Bakar bin Mujahid menjawab, "Apa yang aku lakukan kepadanya adalah karena mencontoh yang dilakukan Rasulullah kepadanya. Aku pernah bermimpi melihat Syibli datang kepada Rasulullah. Lalu Rasulullah bangun dari duduknya dan mencium kening Syibli. Lalu dengan heran aku bertanya kepada Rasulullah, "Duhai Rasulullah, engkau berbuat demikian kepada Syibli?" Rasululullah menjawab, "Ya begitulah. Itu karena orang ini (Syibli) sehabis shalat senantiasa membaca ayat: ۞Laqod jaa akum rasulun min anfusikum ‘aziizun ‘alaihi maa ‘anittum hariishun ‘alaikum bil mu’miniina ro-uufurrohiim ۞ ‘Sungguh telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin
(at-Taubah: 128)

Akhlaqul kharimah Imam Alhaddad



Diceritakan suatu saat tatkala mendekati waktu Idul Adha berkata ayah kepada seorang anaknya, “Bawalah pisau kita ini ke tukang besi untuk diasah?! (Namun, anak ini rupanya agak sedikit bodoh! Sebab, tatkala mendengar "Haddad" yang dipikirannya hanya teringat Imam Abdullah ibn Alwi Al Haddad). Kemudian dibawanya pisau tadi itu kerumah Imam Al Haddad. Tatkala sampai disana, Si Anak ini bersalam kepada Habib Abdullah ibn Alwi Al Haddad dan berkata, “Ayahku bilang pisau ini tolong diasahkan dan perbaikilah karena Hari Ied sudah dekat?!” Kata Habib Abdullah ibn Alwi Al Haddad, “Marhaba/Baiklah.” (Sebenarnya Habib Abdullah ibn Alwi Al Haddad sudah faham apa maksud ayah Si Anak ini menyuruh agar pergi ke Haddad, yaitu tukang besi dipasar yang memang sudah terbiasa bekerja mengasah besi). Namun demikian kata Habib Abdullah ibn Alwi Al Haddad, “Taruhlah (pisaunya) disitu, besok engkau datang kemari lagi.” Si Anak itu pun pergi meninggalkan kediaman habib.

Selang beberapa saat Habib Abdullah ibn Alwi Al Haddad memanggil seorang temannya dan berkata, “Bawalah pisau ini ketukang besi dipasar, tolong mintakan untuk diperbaiki dan pertajamlah, setelah itu engkau bawakan pisau ini kemari lagi.” Akhirnya pisau itu pun diperbaiki dan diserahkan kembali kepada Habib Abdullah ibn Alwi Al Haddad. Kemudian, keesokan harinya datang Si Anak tersebut. Lalu Si Anak ini pun berkata, “Berapakah ongkosnya?” Kata Habib, “Katakanlah pada ayahmu tidak ada ongkosnya?! Kalau dengan kami tidak pakai ongkos!? Ambillah, ini sudah siap?!” Maka Si Anak tersebut pun pulang ke rumahnya. Lalu Si Anak ini berkata kepada ayahnya,



“Haddad/tukang besi itu tidak mau dibayar?” Ayahnya ini kaget, “Hhaa.. siapa Haddad yang tidak mau dibayar? Memangnya dimana dia?” Kata Si Anak, “Di Alhawi.” Si Ayah berkata, “Alhawi mana?? Apa daerah tempat tinggal Imam Haddad?? Kalau Haddad itu ya dipasar sini dekat kita!!!

Mendengar hal tersebut, sebenarnya Ayahnya ini agak marah, “Bagaimana bisa di Alhawi???” Kata Si Anak, “Al Haddad !! Yaa, Abdullah ibn Alwi Al Haddad.”

Serentak ayahnya berkata, “Inna Lillahi wa Inna Ilaihi Rojiuun??? Emangnya Engkau ini pergi kemana? Jawab Si Anak, “Ke Haddad.” Kata Si Ayah, “Lalu engkau serahkan ke siapa?” Jawab Si Anak, “Aku serahkan sendiri.” Kata Si Ayah, “Siapa yang menerimanya?” Jawab Si Anak, “Dia sendiri yang menerimanya dan katanya kembali lagi besok hari.” Lalu Si Ayah berkata, “Alangkah bodohnya kamu nak !! Kau pergi ke orang yang Alim, yang Sholeh, lalu kau minta perbaiki pisau ??? Akhirnya, Si Ayah anak ini pergi ke Habib Abdullah ibn Alwi Al Haddad untuk meminta maaf. Kemudian Imam Haddad berkata kepada Si Ayah anak tersebut, “Tidak apa-apa, jangan engkau masukkan ke dalam hati. Jika tahun ini kalian bener-bener berkurban kami pun akan ikut mendapatkan pahala lantaran sebab anak ini.” MasyaAllah!

Ilmu Yang Bermanfaat



Imam Malik pernah mengatakan:"Ilmu bukanlah dengan mengetahui banyaknya riwayat, melainkan ilmu adalah cahaya yang Allah SWT masukkan ke dalam hati seseorang.

Imam Idrus bin Umar Alhabsyi mengatakan:"Ilmu jika terletak dihatinya merupakan cahaya, Dan jika terletak didalam diri merupakan api".

Habib Abdullah bin Muhsin Al-Attas mengatakan: "ilmu itu ada dua yaitu pertama ilmu yang menjadikan pemiliknya memiliki rasa takut kepada Allah SWT dan merupakan cahaya. Setiap kali ilmu ini bertambah pada diri seseorang bertambah pula pengenalannya terhadap dirinya dan dapat memastikan bahwa dia tidak mengetahui ilmu sedikitpun. Kedua ilmu lisan, setiap kali ilmu ini bertambah pada seseorang bertambah pula pengakuan pengakuannya,dan menyangka bahwa tak ada orang yang ilmunya seperti dirinya".



Syekh Ali bin Abubakar mengatakan sesungguhnya ilmu yang hukumnya fardhu 'ain ada tiga macam:
1.Mengenal Allah SWT yakni mengenal Dzatnya,mengetahui sifat sifatnya dan perbuatan perbuatannya agar engkau mengetahui siapa yang engkau sembah dan menaati siapa yang engkau tuju.

2.Mengetahui segala yang diwajibkan atas seorang hamba pada lahiriahnya dari hukum-hukum syariat dan manfaat manfaatnya.

3.Segala yang diwajibkan atas seorang hamba pada batiniahnya, yaitu ilmu tentang hati, ilmu ini sangat penting bagi kita dan zaman sekarang sudah banyak yang meninggalkannya.

Golongan Barisan Kekasih Allah



Allah telah menjadikan golongan ini sebagai barisan kekasih-kekasih-Nya. Dan Allah telah mengutamakan mereka di atas seluruh hamba-hamba-Nya, setelah para Rasul dan Nabi-Nya. Semoga Shalawat dan salam senantiasa tercurah kepada mereka.

Allah menjadikan hati mereka sebagai sumber rahasia-Nya, dan memberikan keistimewaan di antara para ummat melalui kecemerlangan cahaya-Nya.

Mereka adalah para penolong bagi makhluk. Mereka memerankan tingkah lakunya bersama dan dengan kehendak Al-Haq(Allah).

Allah menjaga mereka di tempat-tempat musyahadah, ketika ditempatkan hakikat-hakikat Ahadiyah-Nya pada mereka.



Allah menolong mereka dalam menegakkan adab ubudiyah, dan Allah menempatkan secara nyata kepada mereka jalan-jalan hukum rububiyah. Lalu mereka menegakkan sesuai dengan kewajiban dan tugas, dan mereka mewujudkan apa yang telah dianugerahkan Allah SWT. melalui kreasi dengan segala kejujuran fakir dan sifat leburnya jiwa.

Mereka sama sekali tidak mengandalkan apa yang telah dihasilkan itu, sebagai buah amalnya. Atau kejernihan ilmu yang lahir dari tingkah laku sebagai ilmu mereka.Segalanya dari Keagungan dan Keluhuran Allah SWT. Yang berbuat sesuai dengan kehendak-Nya, memilih siapa yang diinginkan-Nya, di antara para hamba. Dia(Allah) tidak dihukumi oleh makhluk. Pahala-Nya
merupakan awal dari fadhal, dan siksa-Nya merupakan hukum keadilan, sedangkan amar -Nya meruppakan qadha'

RIsau dan Gundah Kerana Memikirkan Dosa dapat Menggugurkan Dosa



Suatu hari seorang pemuda menemui Rasulullah SAW dengan wajah gusar, nampak gelisah dan begitu khawatir. Perlahan pemuda tersebut menghampiri Rasulullah SAW dan bertanya: “Wahai Rasulullah, betulkah segala perbuatan kita, baik maupun buruk, akan dibalas? ”Wajah pemuda tersebut sungguh risau.

Rasulullah dengan akhlak yang selalu saja terpancar dari wajahnya, tersenyum teduh & menjawab.. : “Tentu saja, janji Allah itu pasti. Tiada yang lebih pasti dari janji-Nya.”
“Barangsiapa mengerjakan kebaikan sekecil apa pun, niscaya dia akan mendapat balasannya. & barangsiapa yang mengerjakan kejahatan sekecil apa pun, niscaya dia akan melihat balasannya pula.” – QS. Al Zalzalah: 7-8



Melihat wajah pemuda yang semakin gusar, Rasulullah pun bertanya: “Wahai pemuda.. apakah gerangan yang membuatmu begitu risau? Dan mengapa kamu bertanya demikian?” Pemuda itu pun menjawab dengan suara pelan : “Wahai Rasulullah.. aku merisaukan perbuatan" dosaku yang aku pun tak sanggup menghitungnya. Sungguh berbuat dosa itu bisa sangat tak terasa. Aku khawatir akan balasannya di dunia maupun di akhirat kelak.. ”Rasulullah kembali menatap pemuda tersebut dengan pandangan yang teduh & senyum yang menentramkan hati, kemudian balik bertanya : “Wahai pemuda.. kamu pernah sakit? Pernah dikhianati? Pernah tak enak hati? Pernah gundah tanpa sebab yang pasti? Pernah mendapat masalah yang besar?

”Mendengar rangkaian pertanyaan itu, pemuda tersebut mengangguk, “Tentu saja pernah ya Rasulullah.. ”Rasulullah semakin melembutkan suaranya : “Sesungguhnya sakitmu, perasaan tak enak hatimu, kegundahan tanpa sebabmu, juga masalah" besarmu itu Allah hadirkan ke dalam kehidupanmu untuk menggugurkan setiap dosa yang kau khawatirkan itu. ”Mendengarnya,pemuda tersebut berurai air mata penuh syukur. Bersyukur sangat dalam karena baru menyadari bahwa segala hal yang dianggapnya musibah dalam hidup, ternyata adalah karunia, yang dihadirkan untuk menggugurkan dosa".

Minggu, 11 Februari 2018

Pengertian Fana Dan Baqa



Sejumlah Sufi mengisyaratkan Fana’ pada gugurnya sifat-sifat tercela, sementara baqa’ diisyaratkan sebagai kejelasan sifat-sifat terpuji. Kalau pun seorang hamba tidak terlepas dari salah satu sifat tersebut, maka dapatlah dimaklumi, sebenarnya salah satu bagian apabila tidak dijumpai dalam diri nanusia, maka dapatlah ditemui sifat satunya lagi.

Barangsiapa fana’ dari sifat-sifat tercela, maka yang tampak adalah sifat-sifat terpuji. Sebaliknya, jika yang mengalahkan adalah sifat-sifat yang hina, maka sifat-sifat yang terpuji akan tertutupi.

Perlu diketahui, bahwa predikat yang menjadi sifat hamba mengandung perbuatan, akhlak dan tingkah laku.

Perbuatan-perbuatan tersebut merupakan daya manusia melalui ikhtiarnya. Sedangkan akhlak merupakan pembawaan. Namun sifat itu berubah menurut konsistensi kebiasaannya. Sedangkan tingkah laku merupakan suatu perilaku yang dikembalikan kepada hamba dari segi permulaannya. Hanya saja, penjernihannya muncul setelah pembersihan amal. Seperti akhlak dalam satu segi.



Demikian pula manakala sang hamba terus menerus membersihkan perbuatannya, melalui upaya yang telah diberikan kepadanya. Allah SWT memberikan anugerah kepadanya melalui penjernihan tingkah laku, bahkan melalui penyempurnaan tingkah laku tersebut.

Siapa yang berupaya meninggalkan perbuatan kehinaan dengan bahasa syariat, maka ia telah fana’ dari syahwatnya. Jika telah fana’ dari syahwatnya, akan kekallah bangunan dirinya serta keikhlasan dalam ubudiyahnya.siapa yang zuhud di dunia dengan hatinya, maka ia telah fana’ dari
kesenangannya. Dan jika telah fana’ kesenangannaya, berarti telah kekal melalui kejujuran kembali dirinya.

Barangsiapa menerapi (mengobati) akhlaknya dari penyakit kalbu seperti dengki, angkuh, bakhil, sangat bakhil, marah, sombong dan sebagainya dari keangkuhan nafsu, maka berarti telah fana’
dari kebejatan akhlak. Kalau sudah demikian, yang kekal dalam dirinya adalah ketidakpeduliannya kepada kepentingan pribadinya (futuwwah) dan kejujuran pada diri sendiri.

Barangsiapa menyaksikan berlakunya qudrat dalam mekanisme hukum dan aturan,
maka dapat dikatakan : Ia telah fana’ dari tanggungan perkara pertama dari makhluk.

4 Masalah Dan 4 Solusi Menurut Tuntunan Alqur'an



1- Jika anda diuji dengan syahwat dan hawa nafsu,
periksalah sholat anda "Maka datang sesudah mereka suatu keturunan yang mereka telah melalaikan sholat dan memperturutkan syahwat hawa nafsunya" (QS. Maryam: 59)

2- Jika anda merasa keras hati, berperangai akhlak buruk, sial sengsara dan tidak ada kemudahan, periksalah hubunganmu dengan ibumu dan baktimu kepadanya "Dan (Dia jadikan aku) berbakti kepada ibuku, dan Dia tidak menjadikan aku seorang yang sombong lagi celaka" (QS. Maryam: 32)



3- Jika anda merasa depresi, tertekan dan kesempitan dalam hidup, periksalah interaksimu dengan Al-Qur'an "Dan barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku (Al-Qur'an- berdzikir), maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit" (QS. Thaha: 124)

4- Jika anda merasa kurang tegar dan teguh di atas kebenaran dan gangguan kegelisahan, maka periksalah bagaimana pelaksanaanmu terhadap nasehat dan mauidzah yang engkau dengar "Sesungguhnya kalau mereka melaksanakan pelajaran yang diberikan kepada mereka, tentulah hal yang demikian itu lebih baik bagi mereka dan lebih meneguhkan (iman mereka)” (QS. Annisa: 66)

Berzikir Kepada Allah



Allah Ta'ala memerintahkan kita untuk banyak berdzikir kepadaNya. Seperti Firman Allah Ta'ala
اذكروا الله ذكرا كثير
Berdzikirlah kamu kepada Allah dengan sebanyak-banyaknya.
Karena dengan membanyakkan dzikir kepada Allah maka Allah akan memberikan derajat yang tinggi kepada hamba-Nya yang membanyakkan dzikir.

Seperti Sabda Nabi Muhammad SAW :
ليذ كرن اقوام في الدنيا على الفرش الممهدة يد خلهم الله بذلك الدرجت العليا.
Artinya : Sesungguhnya ada beberapa kaum di dunia berdzikir di atas hamparan-hamparan yang terbentang dengan baik, dan Allah memasukkan mereka dengannya kedalam beberapa derajat yang tinggi. Ketahuilah pula bahwa sesungguhnya zikir merupakan ketetapan kewalian. Artinya ketetapan dari Allah Ta'ala bagi hamba (seseorang) sebagaiaman ketetapan raja-raja (di dunia) dengan beberapa tugas tertentu. Dan bagi Allah-lah teladan yang tinggi.

Maka barangsiapa diberi pertolongan untuk melanggengkan zikir kepada Allah Ta'ala, berarti ia benar-benar diberi ketetapan, bahwa sesungguhnya ia waliyullah. Dan barangsiapa dicabut zikirnya, berarti ia dilepas dari kewalian.



Ketahuilah, bahwa sesungguhnya zikir adalah yang paling cepat menghasilkan futuh (terbukanya hati) dibanding ibadah-ibadah lain.

Ali al Mashafi ra. berkata, " Para guru benar-benar merasa tidak mampu membersihkan hati murid dengan obat yang lebih cepat untuk membersihkan hatinya selain dengan melanggengkan zikir. Jadi hukum zikir - dalam hal membersihkan hati adalah sama dengan hukum kerikil dalam membersihkan tembaga. Sedangkan ibadah-ibadah lain selain zikir, sama dengan sabun dalam membersihkan tembaga. Dan bersihnya tembaga dengan sabun, memerlukan waktu lama (meskipun dapat pula membersihkan kotoran dan karat).

Syeikh Ali al Marshafi berkata pula,
"Orang yang suluk (menempuh) jalan zikir, bagaikan burung yang terbang cepat menuju ke hadirat Allah. Sedangkan orang yang suluk selain jalan zikir, seperti orang lumpuh yang merangkak lalu berhenti, padahal tempat tujuan jauh sekali. Terkadang orang semacam ini menghabiskan seluruh umurnya, tetapi tidak dapat sampai ke tujuan (yakni wushul kepada Allah)." (Minahus Saniyah As Syeikh Abdul Wahhab Asy-Sya'rani ra)

Pengertian Dzauq & Syurb dalam Dunia Sufi



Di antara bagian yang berlaku dalam tradisi Sufi adalah Dzauq dan Syurb. Mereka mengonotasikan istilah tersebut dari peristiwa yang mereka temukan dari buah tajali dan buah mukasyafah serta kejutan-kejutan yang muncul. Tahap pertama adalah Dzauq, kemudian Syurb, lalu Irtiwa’.

Kejernihan muamalat mereka mendatangkan rasa (dzauq) maknawi, dan ketepatan tahap-tahap mereka mengharuskan adanya minum (syurb). Sementara keabadian hubungan mereka (wushul) mengharusskan adanya kesegaran (irtiwa’).

Orang yang memliki dzauq menampakkan sukr-nya. Dan orang yang sedang syurb melahirkan kemabukkan. Orang yang irtiwa’ selalu menjerit. Dan siapa yang kuat cintanya, maka abadi pula minum-nya.

Apabila sifat-sifat seperti itu abadi, syurb tidak melahirkan mabuk (sakran). Dan ia selalu menjerit bersama Al-Haq sebagai orang yang fana’ dari segala jagad makhluk, sama sekali tidak berpengaruh baginya apa yang datang, dan tidak berubah, apa yang menyertainya. Barangsiapa jernih sirr-nya,
maka minum-nya tidak akan pernah keruh.

Dan siapa yang menjadi peminum (ruhani) sebagai konsumsi, ia tidak akan pernah sabar dan tidak pernah abadi tanpa konsumsi itu.



Mereka bersyair :
Gelas minuman adalah susunan kita
Kalau tak kita rasakan Tak hidup pula kita

Dalam syair mereka :
Aku heran orang yang bicara
"Aku ingat Tuhanku Apakah aku alpa, lalu aku ingat apa yang kulupa?"
Kuminum cita, gelas demi gelas piala
Tuntas habis minuman, tak puas dahaga pula

Yahya bin Mu’adz menulis surat kepada Abu Yazid al-Busthamy:
“Di sana, orang yang meminum gelas dari kecintaan,
tiada dahaga usainya.”

Lalu Abu Yazid menulis surat kembali.
“Aku heran atas kelemahan dirimu di sana.
Sebab siapa yang merasa di samudera jagad raya,
ia akan hilang keberuntungannya.”

Ingatlah, bahwa piala-piala taqarub tampak dari kegaiban.
Dan Anda tidak bisa mengelilingi, kecuali dengan rahasia-rahasia kemerdekaan dan ruh-ruh bebas dari segala belenggu.

Dua Amalan Yang Tinggi Disisi Allah



Rasulullah SAW bersabda : "Ketika hari kiamat tiba kelak, akan ditumbuhkan oleh Allah SWT sayap-sayap pada sekelompok umatku.

Mereka akan terbang menuju Surga dengan bantuan sayap-sayap itu...

Mereka bercengkrama disana dan bernikmat-nikmat sepuasnya.

Para Malaikat bertanya kepada mereka, "Apakah kalian telah menyaksikan hasil perhitungan (hisab)kalian?".

Mereka menjawab, "Kami tidak melihat perhitungan tersebut".

Para Malaikat kembali bertanya, "Apakah kalian melewati titian Shirathal Mustaqim?".

Mereka menjawab, "Kami tidak melewati titian Shirathal Mustaqim".



Para Malaikat bertanya lagi, "Apakah kalian melihat Neraka Jahanam?".

Mereka menjawab, "Kami sama sekali tidak melihat Neraka itu".

Para Malaikat kembali bertanya kepada mereka, "Umat siapakah kalian ini?".

Mereka menjawab, "Kami umat Nabi Muhammad SAW.

Para Malaikat bertanya lagi, "Kami bersumpah, jelaskan kepada kami dengan sebenar-benarnya...Apakah amalan kalian didunia dahulu?".

Merekapun menjawab, "Kami mencapai derajat seperti ini karena DUA AMALAN".

Para Malaikat bertanya lagi, "Apakah yang DUA itu?".

Mereka menjawab, "KETIKA BERADA DITEMPAT YANG SUNYI, KAMI MALU BERBUAT MAKSIAT KEPADA ALLAH DAN KAMI RIDHA DENGAN YANG SEDIKIT DARI KARUNIA ALLAH KEPADA KAMI".

Kemudian para Malaikat pun berkata, "Kalau begitu, memang kalian betul-betul berhak dengan ini semua".

Dalm Kitab Ihya 'Ulumuddin - Imam AI-Ghazzali.

Jumat, 09 Februari 2018

Kisah Sahabat Abdullah bin Jahsy RA



            Abdullah bin Jahsy al Asadi adalah sepupu sekaligus saudara ipar Rasulullah SAW. Ibunya, Umaimah binti Abdul Muthalib bin Hasyim adalah bibi beliau, dan adiknya, Zainab binti Jahsy RA adalah salah seorang dari Ummahatul Mukminin. Ia termasuk sahabat yang memeluk Islam pada masa awal, yakni sebelum Nabi SAW mengajar di rumah al Arqam bin Abil Arqam (Darul Arqam).
Abdullah bin Jahsy pernah hijrah ke Habasyah untuk menghindari siksaan orang-orang kafir Quraisy, tetapi tidak lama kemudian ia kembali ke Makkah, karena tidak sanggup berpisah lama dengan Nabi SAW. Ketika perintah hijrah ke Madinah datang, Ibnu Jahsy beserta seluruh anggota keluarganya segera menyambutnya. Ia meninggalkan rumah dan segala perlengkapannya begitu saja.

Abu Jahal dan Utbah bin Rabiah menyatroni rumahnya dan membuka paksa pintunya, kemudian menjarah isinya layaknya perampok. Mendengar kabar tentang ulah Abu Jahal tersebut, Ibnu Jahsy mengadukan hal tersebut kepada Nabi SAW, dan beliau bersabda, "Apakah engkau tidak ridha, wahai Abdullah, padahal Allah akan memberikanmu rumah di surga?"
"Aku ridha, ya Rasulullah!" Jawab Abdullah, hatinya menjadi tenang dan air mata haru mengalir mendapat penjelasan Nabi SAW tersebut.

Pada bulan Rajab tahun 2 hijriah, Abdullah bin Jahsy memimpin 12 orang sahabat (pada riwayat lain, 8 sahabat) yang diperintahkan Nabi SAW menuju suatu arah, dan diberi suatu surat tertutup, yang baru boleh dibuka setelah dua hari perjalanan. Setelah dua hari, ia membuka surat tersebut, dan isinya adalah perintah Nabi SAW kepada dirinya dan pasukannya untuk menuju ke Nakhlah, tempat antara Makkah dan Thaif, untuk menyelidiki pergerakan dan kafilah dagang orang Quraisy dan melaporkannya kepada Nabi SAW.

Sampai di Nakhlah, mereka melihat kafilah dagang kaum kafir Quraisy sebagaimana disebutkan Nabi SAW. Ibnu Jahsy bermusyawarah dengan pasukannya tindakan apa yang harus dilakukan. Saat itu adalah akhir Bulan Rajab, bulan haram yang dilarang berperang di dalamnya. Kalau menunggu malam harinya, dimana sudah masuk Bulan Sya'ban dan diperbolehkan berperang, kafilah itu akan masuk tanah suci (tanah haram), dan haram pula berperang di tempat itu. Setelah melalui berbagai pertimbangan, ia memutuskan untuk menyerang kafilah tersebut. Satu orang Quraisy tewas dan dua orang tertawan, sisanya melarikan diri. Dengan membawa tawanan dan ghanimah, Abdullah bin Jahsy dan pasukannya pulang ke Madinah.

Sampai di Madinah, ternyata Rasulullah SAW tidak sependapat dengan keputusannya tersebut. Beliau bersabda, “Aku tidak memerintahkan kalian  untuk berperang di Bulan Suci (Bulan Haram)…!!”

Beliau menolak untuk menerima tawanan dan ghanimah yang telah dibawanya. Abdullah bin Jahsy dan pasukannya merasa sangat malu pada Nabi SAW, dunia jadi terasa sempit dan menyesakkan dada mereka. Hal inipun dimanfaatkan oleh oleh orang-orang Quraisy untuk melontarkan tuduhan dan fitnah kepada Nabi SAW, bahwa beliau menghalalkan bulan haram, membunuh dan menawan orang dan merampas harta bendanya, sehingga keadaan jadi kemelut yang rumit.



Tetapi kemudian Allah SWT menurunkan wahyu, Surah al Baqarah 217, yang isinya membenarkan tindakan Abdullah bin Jahsy, yakni mengecualikannya karena sebelumnya kaum kafir Quraisy telah melakukan tindakan yang jauh lebih besar dosanya, yakni mengusir penduduknya (yang muslim) dari Tanah Haram Makkah. Nabi SAW menjadi gembira dan ridha dengan tindakan Ibnu Jahsy, dan menerima tawanan dan ghanimah yang dibawanya, dan membagikannya kepada yang berhak. Itu adalah tawanan dan ghanimah pertama dalam Islam.

Peristiwa tersebut merupakan babak baru yang menunjukkan bagaimana kekuatan orang-orang Islam. Sebaliknya, orang-orang kafir Quraisy mulai dirasuki ketakutan, orang-orang yang dahulu disiksa dan dimusuhinya, bahkan diusir dari tanah kelahirannya, sekarang menjadi batu perintang yang menghalangi jalur perdagangannya ke Syam. Apalagi di bulan Sya'ban itu juga, turun surah al Baqarah ayat 190-193 yang mewajibkan orang-orang Islam untuk berperang melawan orang-orang yang memerangi dan menghalangi mereka dari jalan kebenaran.

Dalam perang Uhud, Abdullah bin Jahsy menemui sahabatnya, Sa'ad bin Abi Waqqash dan mengajaknya berdoa bergantian dan saling mengaminkan, karena doa seperti itu akan mudah dikabulkan oleh Allah SWT. Sa'ad setuju dengan usulan sahabatnya tersebut. Merekapun menuju suatu tempat agak menjauh dari yang lain dan mulai berdoa.

Sa'ad memperoleh giliran pertama, ia berdoa, "Ya Allah, saat aku berada di tengah pertempuran esok hari, dengan limpahan Kasih SayangMu, ya Allah, hadapkanlah aku dengan musuh yang kuat dan garang, biarkanlah ia menyerangku sekuat tenaganya, dan aku akan menghadangnya sekuat tenagaku, Setelah itu, ya Allah, ijinkahlah aku memperoleh kemenangan dan membunuhnya karenaMU, dan biarkanlah aku memperoleh ghanimah atas limpahan karuniaMU, ya Allah!"
"Amin…!" Abdullah bin Jahsy, menutup doa Sa'ad.

Kemudian ganti ia berdoa, "Ya Allah ya Tuhanku, dalam pertempuran esok hari, hadapkanlah aku dengan musuh yang paling kuat, biarkanlah dia menyerangku dengan kemarahan membara, dan berilah aku keberanian untuk menghadangnya dengan segala kekuatan yang ada padaku. Kemudian, ya Allah, biarkanlah musuhku itu membunuhku, dan biarkanlah musuhku itu memotong hidung dan telingaku. Sehingga pada hari kiamat kelak, saat aku berdiri di hadapanMu untuk diadili, Engkau akan bertanya, 'Wahai Abdullah, mengapa hidung dan telingamu terpotong?' Maka aku akan menjawab, 'Hidung dan telinga saya telah terpotong karena berjuang di jalanMu dan jalan RasulMu..' Maka Engkau akan berkata, 'Benar, semuanya terpotong karena berjuang di jalanKu',…. ya Allah, kabulkanlah doaku ini!!"

"Amin…!" Kata Sa'ad, mengaminkan doa yang dipanjatkan Abdullah bin Jahsy, yang tampak aneh dan mengherankan. Tetapi, itulah wujud kecintaannya  kepada Allah dan kerinduannya akan alam akhirat yang kekal abadi.

Esok harinya, pertempuran berlangsung sengit, dan doa keduanya dikabulkan oleh Allah. Sa'ad memperoleh kemenangan dan ghanimah yang banyak, sedang Abdullah menemui syahidnya dengan hidung dan telinga terpotong, sehingga untuk menempelkannya diikat dengan benang, tubuhnyapun luka tercincang tak karuan, seperti keadaan jasad pamannya, Hamzah bin Abdul Muthalib RA.
            Melihat keadaannya tersebut, Sa'ad berkata, "Doa Ibnu Jahsy lebih mulia daripada doaku!"

Kisah Sahabat Abdullah bin Abbas RA



           Abdullah bin Abbas masih sepupu Nabi SAW sendiri walaupun usianya berbeda jauh, ia  putra dari Abbas bin Abdul Muthalib, paman beliau. Ia hidup dan bergaul bersama Rasulullah SAW ketika masih anak-anak. Ia berhijrah ke Madinah pada tahun 5 hijriah ketika berusia 8 tahun. Ia berangkat bersama kakaknya, Fadhl bin Abbas RA dan seorang budaknya, Abu Rafi. Mereka sempat tersesat di Rakubah sebelum akhirnya sampai di kediaman Bani Amr bin Auf dan masuk ke Madinah.

Suatu ketika Nabi SAW menariknya mendekat, menepuk-nepuk bahunya dan berdoa untuknya, "Ya Allah, berilah ia ilmu agama yang mendalam, ajarkanlah kepadanya ta'wil (yakni, ilmu tentang tafsir Al Qur’an) ." (Allahumma, faqqihu fiddiin, wa 'allimu fit ta'wiil).

Doa ini diulangi beberapa kali oleh Nabi SAW ketika beliau bertemu Ibnu Abbas, sehingga ia benar-benar menjadi orang yang sangat mendalam ilmu agamanya dan menjadi ahli tafsir Al Qur'an.
Abdullah bin Abbas memang selalu menghadiri majelis pengajaran Nabi SAW, dan menghafalkan apa yang beliau sampaikan. Ketika berusia 10 tahun, ia telah mampu menghafal Al Qur'an hingga manzil (yang diturunkan) terakhir.

Ketika Rasulullah wafat, ia berusia 13 tahun dan saat itu ia telah menjadi seorang ahli tafsir Al Qur'an yang diakui oleh para sahabat lainnya. Namun demikian ia tidak berhenti menggali dan mencari ilmu dari para sahabat-sahabat Nabi SAW yang terdahulu. Ia tidak segan memacu tunggangannya mengarungi padang pasir menemui seorang sahabat, yang tidak terkenal sekalipun, bila didengarnya ia pernah memperoleh pengajaran (atau suatu hadits) langsung dari Nabi SAW. Sungguh, kehausannya akan ilmu agama, apalagi yang bersangkutan dengan al Qur’an dan hadits Nabi SAW seakan tak pernah terpuaskan. 



Suatu ketika Ibnu Abbas melihat Nabi SAW sedang shalat sunnah, segera saja ia berdiri di belakang beliau dan mengikuti shalat. Melihat Ibnu Abbas, beliau menarik tangannya hingga berdiri sejajar, kemudian meneruskan shalatnya. Tetapi Abdullah bin Abbas mundur selangkah sambil tetap meneruskan shalat. Setelah selesai shalat, Nabi SAW menanyakan kenapa ia mundur lagi ke belakang, Ibnu Abbas berkata, "Wahai Rasulullah, engkau adalah pesuruh Allah, bagaimana mungkin saya dapat berdiri sejajar denganmu."

Rasulullah SAW tersenyum, dan kembali mendoakannya seperti sebelumnya, yakni : Allahumma faqqihu fiddiin, wa 'allimu fit ta'wiil.
            Seusai perang Hunain, Nabi SAW menyatakan bahwa sepeninggal beliau kelak, orang-orang Anshar akan mengalami perlakuan pilih kasih dari pihak yang berkuasa, hal ini terekam kuat dalam ingatannya walau saat itu ia masih kecil. Hal itu memunculkan tekad dalam hatinya untuk membela orang-orang Anshar jika saat itu tiba.

Pada masa khalifah Umar atau Utsman (perawi Abu Zinad ragu antara Umar atau Utsman), sekelompok sahabat, di antaranya Hasan bin Tsabit dan Abdullah bin Abbas, mewakili orang-orang Anshar meminta kepada khalifah agar memenuhi hajat kebutuhan mereka. Beberapa sahabat berdiri mengutarakan keutamaan orang-orang Anshar dan jasa-jasa mereka saat bersama Nabi SAW, dengan harapan khalifah bisa memenuhinya.

Kebutuhan orang-orang Anshar yang diperjuangkan saat itu memang nilainya cukup besar, sehingga khalifahpun memberikan berbagai argumen dan alasan, karena tidak bisa memenuhinya begitu saja. Beberapa orang sahabat akhirnya menerima alasan khalifah, termasuk sebagian sahabat Anshar. Tetapi ternyata Ibnu Abbas tidak mau menyerah begitu saja, selalu terngiang-ngiang “ramalan” Rasulullah SAW tentang ketidak-adilan yang akan dialami kaum Anshar. Ia akan merasa sangat bersalah jika ia melihat sisi ketidak-adilan tersebut muncul, dan tidak berbuat apa-apa untuk melawannya.

Tiba-tiba Ibnu Abbas berdiri dan dengan tegas ia mendebat semua argumentasi khalifah. Doa Nabi SAW,  "Faqqihu fid diin wa 'allimu fit ta'wil" benar-benar mewujud dalam dirinya. Semua argumen dan alasan itu dapat dipatahkannya sehingga mau tidak mau khalifah memenuhi kebutuhan para sahabat Anshar tersebut. Ini bukan sikap menang-menangan, tetapi bagaimana mendudukkan masalah sehingga khalifah terhindar dari sikap pilih kasih, dan tetap berdiri di atas keadilan. Dan khalifah sendiri akhirnya menyadari, bukannya marah, tetapi justru ia berterima kasih atas nasehat yang diberikan Abdullah bin Abbas.

Hassan bin Tsabit, yang digelari sebagai ‘Penyair dan Pembela Rasulullah SAW’, berkata kepada para sahabat yang bersama-sama menghadap khalifah, "Demi Allah! Sesungguhnya ia (Ibnu Abbas RA) adalah yang paling utama di antara kalian, karena ia adalah sisa kenabian dan pewaris Ahmad SAW. Kesamaan ras dan kemiripan wataknya memberi petunjuk kepadanya."

Begitu juga yang terjadi dengan sahabat Abu Ayyub al Anshari. Sahabat Anshar ini menyediakan rumahnya untuk ditempati Nabi SAW ketika beliau pertama kali tiba di Madinah. Selama berbulan-bulan beliau tinggal di rumahnya sampai kaum muslimin selesai membangun Masjid Nabawi, dan rumah tinggal beliau di serambi masjid tersebut. Pada masa khalifah Muawiyah, ia mengalami masalah keuangan dan terlilit hutang. Ketika menghadap khalifah dan menyampaikan permasalahannya, ia tidak memperoleh apapun kecuali “nasehat” untuk bersabar, sebagaimana diramalkan Rasulullah SAW.

Akhirnya ia berkunjung kepada Abdullah bin Abbas di Bashrah.
Ibnu Abbas menyambut kehadiran Abu Ayyub al Anshari dengan hangat. Ia membiarkan rumahnya ditempati Abu Ayyub dan semua kebutuhannya dipenuhi sehingga bisa menyelesaikan masalah hutangnya, bahkan masih banyak kelebihannya. Ibnu Abbas berkata kepada Abu Ayyub, "Aku akan berbuat baik kepadamu sebagaimana engkau telah berbuat baik kepada Rasulullah SAW.  Aku dan keluargaku pindah dari rumah ini agar engkau bisa menempatinya, sebagaimana engkau dan keluargamu telah mengosongkan rumahmu untuk bisa ditinggali oleh Rasulullah SAW."

Pada masa tuanya, Ibnu Abbas menjadi buta. Suatu ketika ia masuk ke Masjidil Haram dengan dituntun oleh Wahab bin Munabbih. Ketika didengarnya beberapa orang bertengkar dengan suara keras, ia meminta Wahab membawanya ke sana. Ia memberi salam dan meminta ijin duduk. Setelah duduk, ia berkata, "Apakah kamu tidak mengetahui hamba-hamba Allah yang sebenarnya? Mereka adalah manusia yang tidak ingin berkata-kata karena takut kepada Allah, padahal ia tidak bisu bahkan sangat fasih tutur bahasanya, tetapi karena selalu sibuk memuji Allah dan mereka tidak dapat berkata yang sia-sia. Pada tingkat keimanan yang seperti itu, mereka selalu bersegera berbuat kebaikan, mengapa kalian menyimpang dari jalan itu?"
Mereka yang sedang bertengkar atau berdebat tersebut menjadi reda emosinya, dan meminta nasehat lebih banyak kepada Abdullah bin Abbas.

Sebagian riwayat menyebutkan, Abdullah bin Abbas memilih untuk menghabiskan masa hidupnya di Thaif, dan bukannya di Tanah Haram Makkah, walaupun sebenarnya ibadah atau kebaikan yang dilakukan di sana  dilipat-gandakan sebanyak seratus ribu kali. Tetapi yang menjadi alasannya untuk tidak tinggal di Makkah, adalah sikap hati-hati (wara') dan rasa takutnya (khauf) kepada Allah SWT. Dalam pemikiran dan penafsiran Ibnu Abbas, orang-orang yang baru tersirat dan berniat saja untuk berbuat keburukan dan berada di Tanah Haram (Makkah dan Madinah), ia sudah jatuh dalam keburukan dan berdosa, bahkan bisa jadi dosanya sudah berganda sesuatu tingkat kekuatan niatnya. Padahal kalau di tanah halal, yakni diluar Makkah dan Madinah, niat saja belum jatuh dalam keburukan dan berdosa, jika ia belum merealisasikan niatnya tersebut. Bahkan bisa jadi ia memperoleh pahala jika ia membatalkan niatnya tersebut.

Sungguh suatu sikap hati-hati (wara’) dan takut kepada Allah SWT (khauf) yang tiada taranya. Padahal seorang sahabat “selevel” Ibnu Abbas, yang telah didoakan kebaikan oleh Nabi SAW, apa masih mungkin tersirat suatu niat untuk berbuat keburukan?? Tetapi itulah memang ciri khas para sahabat Nabi SAW, walaupun kebaikan dan jaminan keselamatan dari Nabi SAW telah mereka terima dari sabda-sabda beliau, tetapi mereka masih merasa 'tidak aman' dengan Makar Allah, sungguh suatu sikap tawadhu' yang patut diteladani.

Kisah Sahabat Haram bin Milhan RA



           Haram bin Milhan merupakan salah satu dari kelompok 70 sahabat huffadz Qur'an, yang mengalami tragedi Bi’r Ma’unah, yakni pembantaian para sahabat tersebut oleh Amir bin Thufail dan sekutunya, ia merupakan orang pertama yang syahid.

Ketika rombongan ditetapkan untuk berhenti di Bi'r Ma'unah, pimpinan rombongan, Mundzir bin Amr memerintahkan Haram bin Milhan untuk menyampaikan surat Nabi SAW kepada Amir bin Thufail. Haram berangkat menuju kampung bani Amir disertai dua orang. Haram tahu benar bahwa Amir bin Thufail adalah seorang yang amat kejam dan berangasan, yang terkadang tidak memperdulikan kaidah-kaidah yang berlaku umum dalam pergaulan orang Arab.

Mendekati perkampungan bani Amir, ia berkata kepada dua temannya, "Kamu berdua menunggu saja di sini, apabila aku selamat, kalian boleh menyusulku. Tetapi jika mereka berkhianat, segera saja tinggalkan tempat ini. Lebih baik kehilangan satu orang daripada tiga orang."



Mereka berdua setuju, dan Haram berangkat sendiri. Ketika sampai di depan Amir bin Thufail, Haram menyerahkan surat Nabi SAW. Amir menerimanya dengan pongah, surat itu tidak dibuka, apalagi membacanya, bahkan ia memerintahkan orangnya melemparkan tombak ke tubuh Haram dari belakang, hingga tembus ke dadanya. Darah mengucur deras dari luka tersebut, Haram langsung berseru keras, "Allahu Akbar, Demi Tuhan Pemelihara Ka'bah, aku telah beruntung,"
Sesaat kemudian ia menemui syahidnya.

Menurut riwayat lainnya, yang mengatakan kalimat tersebut adalah Amir bin Fuhairah, yang juga tewas dalam peristiwa Bi'r Ma'unah tersebut. Penombaknya, Jabbar bin Sulma al Kilabi akhirnya memeluk agama Islam setelah menerima penjelasan tentang kalimat tersebut, yakni keberuntungan yang dimaksudkan tersebut adalah jannah.

            Amir mengajak kaumnya, bani Amir, untuk menyerang perkemahan kaum muslimin di Bi'r Ma'unah, tetapi mereka menolak, karena kaum muslimin tersebut telah mendapat jaminan keamanan dari Abu Bara', yang tak lain adalah paman dari Amir bin Thufail. Karena gagal mempengaruhi kaumnya, ia menemui bani Sulaim dengan ajakan yang sama. Beberapa kabilah lainnya menyambut ajakannya, yaitu kabilah Ushayyah, Ri'l dan Dzakwan. Mereka mengepung dan membantai tanpa ampun para sahabat huffadz Qur'an tersebut, kecuali Ka'b bin Zaid bin an Najjar yang berpura-pura mati dengan luka tombak di tubuhnya

Selasa, 06 Februari 2018

Kisah Sahabat Malik bin Sinan RA



          Malik bin Sinan RA adalah seorang sahabat Anshar, ayah dari Abu Said al Khudri RA, seorang sahabat yang banyak meriwayatkan hadits Nabi SAW. Dalam perang Uhud, keadaan Rasulullah SAW sangat kritis karena diserang kaum kafir Quraisy dari berbagai penjuru, dan hanya tinggal dua sahabat muhajirin yang melindungi beliau sehingga beliau terjatuh dan terluka. Tujuh sahabat Anshar yang sebelumnya ikut melindungi Nabi SAW telah menemui syahidnya satu persatu.

          Malik bin Sinan termasuk beberapa sahabat (tidak sampai sepuluh orang) yang berhasil membuka “jalan darah” untuk berhimpun di sekitar Rasulullah SAW dalam kondisi kritis tersebut. Mereka ini akhirnya berhasil mengamankan keadaan beliau dari gempuran kaum kafir Quraisy. Ada bagian dari topi besi yang menancap di kepala beliau, Abu Ubaidah berhasil melepaskannya dengan gigi serinya hingga rompal, tetapi dari luka di kepala Rasulullah SAW itu mengucur darah segar. Segera saja Malik bin Sinan menjilat luka pada kepala Nabi SAW dan meminum darah yang mengucur itu, sampai darah tidak keluar lagi. Melihat apa yang dilakukan Malik bin Sinan, beliau bersabda, "Seseorang yang darahnya menyatu dengan darahku, maka api neraka tidak akan menyentuhnya."

          Sungguh suatu keberuntungan besar bagi Malik bin Sinan. Dan keberuntungan itu makin lengkap karena Malik bin Sinan gugur sebagai syahid di Perang Uhud ini.

Kisah Sahabat Mughirah bin Syu'bah RA



           Mughirah bin Syu'bah berasal dari Bani Tsaqif di Thaif. Tetapi tidak seperti kebanyakan kaumnya yang dengan gencar memusuhi Nabi SAW dan Islam, bahkan ketika Makkah telah ditaklukkan, ia justru meninggalkan kota kelahirannya tersebut menuju Madinah untuk memeluk Islam, tidak lama setelah terjadinya Perang Uhud. Walaupun selama masa jahiliahnya ia memiliki sikap yang kurang terpuji, tetapi pergaulannya dengan Nabi SAW dan para sahabat lainnya membentuk dirinya menjadi sosok berkepribadian baik dan sangat mencintai Nabi SAW.

Mughirah ikut serta dalam rombongan umrah Nabi SAW yang gagal, yakni yang berakhir dengan Perjanjian Hudaibiyah. Ketika itu utusan kaum kafir Quraisy, Urwah bin Mas'ud ats Tsaqafi, sedang berbincang dengan Rasulullah SAW tentang maksud kunjungan beliau ke Makkah. Seperti kebiasaan kaum Arab, sambil berbicara tersebut Urwah berusaha untuk memegang jenggot Nabi SAW. Tetapi saat itu Mughirah berdiri di dekat beliau, setiap kali Urwah mengulurkan tangan untuk memegang janggut Nabi SAW, Mughirah memukulkan sarung pedangnya ke tangan Urwah sambil berkata, "Undurkan tanganmu dari jenggot Rasulullah SAW!
"
"Siapakah orang ini?" Tanya Urwah.
Saat itu Mughirah memang mengenakan baju besinya sehingga hanya tampak dua bola matanya saja. Ketika dijawab sahabat lainnya bahwa ia adalah Mughirah bin Syu'bah, Urwah segera berkata, "Hai pengkhianat, bukankah aku telah berusaha untuk membelamu atas pengkhianatanmu itu?"
Di masa jahiliahnya, Mughirah memang pernah dipercaya untuk mengawal suatu kaum, tetapi ia malah membunuh mereka semua dan mengambil harta mereka. Dan saat itu Urwah bin Mas'ud memang berpihak pada Mughirah, dan membela sikapnya tersebut dengan berbagai macam argumerntasi.

Nabi SAW kemudian bersabda, "Aku telah menerima keislamannya. Sedang urusan harta yang engkau bicarakan itu, aku tidak ikut campur tangan sedikitpun."
Urwah pun tidak bisa berkutik dengan pembelaan Nabi SAW tersebut. Apalagi ia melihat dengan matanya sendiri, bagaimana kokohnya kecintaan para sahabat kepada Nabi SAW dan kepada sesama muslim lainnya. Ketika Nabi SAW meludah, mereka berebut untuk menadahinya dengan tangannya. Kala beliau memerintahkan sesuatu, mereka berebut melaksanakannya. Tidak ada yang berani bersuara keras, dan mereka juga berebut air bekas wudlu beliau. Dalam kondisi seperti itu, sama saja ia bunuh diri kalau terus saja menghujat Mughirah atas perbuatannya di masa lalu.

Mughirah bin Syu'bah juga dipercaya Nabi SAW untuk menulis wahyu-wahyu yang turun. Ia juga pernah diperintahkan untuk menulis surat balasan yang dikirimkan beliau ke Uskup Najran, untuk mengajaknya untuk memeluk Islam.
Beberapa bulan berlalu setelah Perang Hunain dan perang Thaif, ketika itu ia sedang menggembalakan unta tunggangan Nabi SAW dan para sahabat lainnya di luar Kota Madinah, tampak rombongan bani Tsaqif dari daerah Thaif, yang sebagian dari mereka adalah kerabatnya, berjalan menuju kota Madinah. Mughirah bergegas menuju masjid untuk memberitahukan Nabi SAW akan kedatangan mereka, tetapi ia bertemu Abu Bakar, dan Abu Bakar memintanya untuk tidak mengatakan kepada Nabi SAW sebelum dirinya, dan ia menerima saran Abu Bakar tersebut.



Kedatangan mereka ini karena dibayang-bayangi ketakutan akan diperangi Nabi SAW setelah mereka melakukan pembunuhan kepada Urwah bin Mas’ud, salah satu tokohnya yang telah memeluk Islam. Setelah diterima Nabi SAW, orang-orang bani Tsaqif yang dipimpin oleh Abd Yalil ini menyatakan bersedia masuk Islam, tetapi mereka minta pada beliau untuk diperbolehkan melakukan beberapa hal, seperti zina, minum khamr dan menarik/memakan riba, serta dibebaskan dari kewajiban shalat. Tentu saja semua persyaratan ditolak mentah-mentah oleh beliau.

Mereka juga sempat meminta agar diijinkan tetap menyembah berhala dalam beberapa tahun, tetapi sekali Nabi SAW menolaknya. Begitu juga ketika mereka memintanya hanya untuk beberapa bulan, minggu dan hari, Nabi SAW tetap menolaknya. Pada akhirnya mereka meminta agar tidak disuruh menghancurkan berhala-berhala sembahan mereka dengan tangan mereka sendiri. Maka Nabi SAW menerima persyaratan ini, dan beliau mengirimkan Mughirah dan Abu Sufyan bin Harb (dalam riwayat lain, sekelompok sahabat yang dipimpin Khalid bin Walid, Mughirah salah satu di antaranya), untuk menghancurkan patung-patung sembahan bani Tsaqif di Thaif.

Mughirah yang memang “putra daerah” dari Bani Tsaqif di Thaif itu, yang paling gencar dan bersemangat menghancurkan berhala-berhala tersebut. Ia berkata kepada sahabat lainnya, “Demi Allah, aku benar-benar akan membuat kalian tertawa karena sikap orang-orang Tsaqif..!!”
Setelah itu ia mengambil dua cangkul dan mendatangi berhala Lata yang selama ini menjadi sesembahan utama Bani Tsaqif, sangat dihargai dan ditinggikan sekaligus ditakuti. Dengan dua cangkul tersebut, Mughirah merobohkan berhala Lata, dan tampak penduduk Thaif bergetar penuh ketakutan, seolah-olah dunia akan runtuh menimpa mereka. Bahkan ada yang berkata, “Semoga Allah mengutuk al Mughirah, dia tentu akan dicekik penjaga berhala…!!”

Mendengar perkataan tersebut, Mughirah melompat ke hadapan mereka dan berkata, “Semoga Allah memburukkan rupa-rupa kalian, berhala ini tidak lain hanyalah tumpukan batu dan lumpur yang hina…!!”

Kemudian Mughirah mengajak para sahabat untuk menghancurkan pintu penyimpanan barang dan merobohkan pagar-pagarnya. Tidak sekedar menghancurkan bangunan-bangunannya, bahkan ia menggali dan menghancurkan pondasinya, dan mengeluarkan harta dan barang simpanan di dalamnya, untuk diserahkan kepada Nabi SAW di Madinah. Orang-orang Tsaqif hanya terpaku tak percaya dengan apa yang dilihatnya tersebut. Dengan atribut dan “kebesaran” berhala Lata itulah selama ini mereka merasa bangga dan berkuasa. Begitu semua itu rata dengan tanah, seolah-olah segala kebesaran dan kebanggaannya selama ini ikut tercerabut dari akar-akarnya.

Pada masa khalifah Umar bin Khaththab, tepatnya pada tahun 15 hijriah, pasukan muslim yang dipimpin Sa'ad bin Abi Waqqash menuju Qadisiah untuk memerangi pasukan Persia yang dipimpin oleh Rustum. Umar juga mengirim pasukan tambahan dari Madinah yang dipimpin oleh Mughirah bin Syu'bah untuk mendukung Sa'ad. Pasukan Abu Ubaidah sejumlah seribu orang yang berada di daerah Syam, juga diminta Umar untuk bergabung dengan Sa'ad.

Ketika kedua pasukan, Muslimin dan Persia  telah berhadapan, Rustum mengirim utusan menemui Sa'ad agar ia mengirim seseorang yang alim dan bijaksana kepadanya untuk melakukan pembicaraan. Sa'adpun  mengirim Rib'i bin Amir. Pada hari berikutnya Rustum meminta dikirim lagi orang lainnya, Sa'ad mengirim Huzaifah bin Mihsan. Ketika pada hari berikutnya Rustum masih meminta lagi orang lainnya, Sa'ad mengirim Mughirah bin Syu'bah.

Mughirah segera memacu tunggangannya membelah kumpulan pasukan Persia tanpa sedikitpun rasa gentar. Ketika memasuki ruang pertemuan yang dipersiapkan, Rustum telah menyediakan tempat duduk yang beralaskan kain sutera, tetapi Mughirah tidak mau duduk di situ. Ia meminta seseorang di sebelah Rustum untuk melemparkan perisainya, dan ia menduduki perisai tersebut.

Pada mulanya pembicaraan berlangsung tenang, dan dalam beberapa hal Rustum mengakui kebenaran yang disampaikan oleh Mughirah. Tetapi pada akhirnya, Rustum menawarkan makanan, uang dan harta lainnya yang sangat banyak, dengan syarat pasukan muslim ditarik dari Qadisiah. Atas penawaran ini, tegas sekali Mughirah berkata, "Akankah itu terjadi jika kami memusnahkan kerajaanmu dan melemahkan kekuatanmu? Kami tidak mempunyai waktu yang banyak, kami hanya akan mengambil jizyah darimu dan kamu akan berada di bawah taklukan Madinah dan menjadi hamba kami, akibat dari kekerasan hatimu…"

Pembicaraan menjadi panas, terjadi saling mengancam dan perang mental. Rustum mengancam akan membantai habis pasukan muslim yang hanya sekitar 30.000 orang, dengan 120.000 tentaranya. Mendengar ancaman ini, dengan tegar Mughirah berkata, "Jika kalian membunuh kami, maka kami akan memasuki jannah, tetapi jika kami membunuh kalian, tempat kalian adalah neraka yang menyala-nyala…."

Inilah yang terjadi sebelum pecahnya perang Qadisiah, dan dalam peperangan itu tentara Persia yang dipimpin Rustum, yang jauh lebih besar berhasil dicerai-beraikan oleh pasukan muslimin

Kisah sahabat Amr bin Umayyah adh Dhamri RA



            Amr bin Umayyah adh Dhamri termasuk dalam rombongan tujuh puluh sahabat Huffadz Qur'an yang ditugaskan Nabi SAW untuk mengajarkan Islam pada Bani Amir di Najd. Ketika perkemahan mereka di Bi'r Ma'unah diserang oleh kelompok  yang dipimpin Amir bin Thufail, ia diserahi tugas menggembala unta-unta bersama Mundzir bin Uqbah bin Amr, sehingga keduanya lolos dari pembantaian.

Mereka melihat burung pemakan bangkai terbang di atas perkemahan teman-temannya, sesuatu yang buruk pasti tengah terjadi, karena itu mereka bergegas kembali. Tetapi dari kejauhan tampak para sahabat tersebut bergelimpangan bersimbah darah, dikelilingi para pembunuh yang senjatanya masih meneteskan darah. Amr berkata kepada Mundzir, "Marilah kita kembali ke Madinah, dan memberitahukan kejadian ini kepada Nabi SAW!"

Tetapi Mundzir menolak usulannya tersebut, menurutnya, kejadian ini pasti akan sampai kepada Nabi SAW, cepat atau lambat, lebih baik kalau mereka menyerang para pembunuh itu hingga syahid menyusul sahabat-sahabatnya tersebut. Amr menyambut usulan ini, mereka berdua menghambur menyerang para pembunuh yang jumlahnya jauh lebih banyak, Mundzir tewas terbunuh dan Amr ditawan oleh Amir bin Thufail, sekaligus dijadikan budaknya.

Amir bin Thufail membawa Amr pulang, tetapi ketika bertemu ibunya, sang ibu memaksa Amir bin Thufail untuk membebaskan Amr sebagai sahayanya, karena ia memang pernah bersumpah/bernadzar untuk memerdekakan seorang budak. Amir bin Thufail bersedia menunaikan amanat ibunya tersebut, dan Amr dilepaskan.

Dalam perjalanan pulang ke Madinah, di sebuah jalan tembus bernama Qarqarah, Amr beristirahat. Tak lama berselang datang dua orang dari bani Kilab, yang juga masih kerabat dengan Amir bin Thufail, beristirahat di tempat itu juga. Setelah kedua orang itu tertidur, Amr membunuh keduanya, sebagai tindakan balasan atas pembunuhan teman-temannya.



Ketika Amr telah sampai di Madinah dan menceritakan apa yang dialaminya kepada Nabi SAW, beliau amat sedih dan marah atas tindakan Amir bin Thufail dan kabilah yang membantunya. Beliau sempat mendoakan keburukan bagi mereka selama tigapuluh hari, yakni ketika berjamaah shalat subuh, yaitu dengan membaca qunut nazilah.

Tetapi Nabi SAW menyesalkan tindakan Amr membunuh dua orang bani Kilab yang sedang beristirahat di Qarqarah, karena sebenarnya beliau menjalin perjanjian persahabatan dengan kabilah tersebut. Kemudian beliau mengumpulkan uang dari orang-orang muslim dan sekutunya dari Yahudi, untuk membayar tebusan (diyat) pada bani Kilab.

Amr bin Umayyah dan Salamah bin Abu Salamah pernah diutus Nabi SAW ke Makkah secara diam-diam untuk membunuh Abu Sufyan. Hal itu dilakukan sebagai tindakan balasan karena Abu Sufyan telah mengirimkan seorang Arab Badui untuk membunuh Nabi SAW. Tetapi sebagaimana orang Arab Badui itu gagal membunuh Nabi SAW, mereka berdua juga gagal membunuh Abu Sufyan karena ketatnya pengawalan. Tetapi mereka berdua berhasil menyelamatkan jenazah sahabat Khubaib bin Adi dari tiang penyaliban kaum Quraisy setelah berhasil memperdaya penjaganya (dalam riwayat lain, membunuh tiga orang yang menjaga tiang salib, atau membunuh tiga orang Quraisy dalam perjalanan tersebut), kemudian membawa pergi dan memakamkannya di tempat tersembunyi.

Amr bin Umayyah juga diutus Nabi SAW untuk menyampaikan surat kepada Raja Najasyi di Habasyah, surat seruan memeluk Islam. Memang, walaupun saat itu Ja’far bin Abu Thalib telah tinggal di sana dengan jaminan keamanan Najasyi, tetapi ia tidak menyeru dan tidak diperintah Nabi SAW untuk mendakwahi Najasyi untuk memeluk Islam. Setelah menerima surat tersebut dari Amr dan selesai membacanya, Najasyi meletakkan surat tersebut di depan matanya yang berkaca-kaca. Kemudian ia turun dari singgasananya dan mengucap syahadat di hadapan Ja’far bin Abu Thalib.

Selain surat tersebut, Amr juga membawa surat lamaran Nabi SAW untuk memperistri Ummu Habibah binti Abu Sufyan, yang telah menjadi janda ketika di Habasyah. Surat tersebut juga diberikan kepada Najasyi, dimana Najasyi sendiri bertindak mewakili Nabi SAW melamar Ummu Habibah dengan mahar 400 dinar (uang emas) dari Najasyi. Ia juga mengadakan jamuan makan untuk semua kaum muslimin yang hadir, dan memberi mereka dengan dinar-dinar.

Amr kembali ke Madinah bersama rombongan Ja’far dan juga Abu Musa al Asy’ary yang sebelumnya perahu mereka terdampar di Habasyah.


Kisah Sahabat Jarir bin Abdullah al Bajali RA



         Jarir bin Abdullah termasuk kalangan sahabat yang memeluk Islam pada masa-masa akhir, yakni mereka yang memeluk Islam setelah terjadinya Fatkhul Makkah, dimana kekuatan Islam yang bermarkas di Madinah mulai diakui dan ditakuti oleh masyarakat di Jazirah Arabia dan sekitarnya, termasuk Romawi dan Persia.

Ketika datang kepada Nabi SAW untuk berba'iat, Jarir mengatakan akan selalu mendengar dan taat, baik pada hal yang disukainya, atau hal yang dibencinya. Mendengar hal itu, Nabi SAW bersabda, "Apakah kamu mampu melakukannya? Berhatilah-hatilah! Lebih baik engkau katakan : Dalam hal yang aku mampu melakukannya."



          Ini adalah bentuk kasih sayang dan kelembutan Nabi SAW atas umatnya, beliau tidak ingin membebani pada umatnya, sesuatu yang mereka tidak mampu. Maka Jarir meralat ba'iatnya sesuai dengan yang dianjurkan oleh Rasulullah SAW, dan juga berba'iat untuk menasehati kaum muslimin.
Suatu ketika Nabi SAW bersabda kepadanya, "Mengapa tidak engkau senangkan hatiku berkenaan dengan Dzul Khalasah?"               
                                                           
            Dzul Khalasah adalah berhala kaum jahiliah dari suku Khas'am yang sering disebut Ka'bah Yamaniah. Jarir langsung menanggapi pernyataan Nabi SAW ini, ia berangkat dengan seratus limapuluh orang pengendara kuda yang mahir dari suku Ahmas. Tetapi ternyata Jarir sendiri yang mengalami kesulitan untuk tetap di atas kudanya. Nabi SAW mendatanginya dan menepuk dadanya sehingga meninggalkan bekas sambil berdoa, "Ya Allah, tetapkanlah ia di atas kudanya dan jadikanlah ia penunjuk yang benar…"

Segera saja Jarir berhasil menguasai kudanya dan ia berangkat ke Dzul Khalasah bersama rombongannya. Setelah berhasil menghancurkan berhala tersebut, Jarir mengirim utusan kepada Nabi SAW mengabarkan keberhasilannya, dan beliau mendoakan keberkahan bagi pengendara kuda dari suku Ahmas tersebut dan para pemimpinnya, yakni Jarir, bahkan beliau mendoakannya sampai lima kali.

Kisah Sahabat Jabir bin Abdullah RA



          Jabir bin Abdullah adalah seorang sahabat Anshar yang cukup banyak meriwayatkan hadits-hadits Nabi SAW. Ia putra salah seorang pahlawan Uhud yang syahid dalam pertempuran tersebut, yaitu Abdullah bin Amr bin Haram. Ketika Nabi SAW menghimpun pasukan ke Uhud, ia sebenarnya ikut “mendaftarkan diri” menjadi mujahid dalam pertempuran tersebut bersama ayahnya, tetapi Nabi SAW hanya mengijinkan salah satunya. Akhirnya Jabir mengalah dan mendahulukan ayahnya untuk mengikuti Perang Uhud.

Sepulangnya dari perang Uhud, hanya semalam tinggal di Madinah, Nabi SAW kembali menghimpun pasukan untuk mengejar kaum musyrikin Makkah yang dipimpin oleh Abu Sufyan bin Harb. Cukup banyak yang ingin bergabung, termasuk sekitar tigaratus kaum munafiqin pimpinan Abdullah bin Ubay, yang dalam perang Uhud mereka “ngacir’ (pulang dahulu, desersi) sebelum pertempuran dimulai. Tetapi dengan tegas Nabi SAW bersabda, "Yang boleh bergabung dalam pasukan ini, hanyalah orang-orang yang sebelumnya mengikuti perang Uhud."

Jabir datang kepada Nabi SAW dan meminta ijin untuk mengikuti pasukan tersebut, ia berkata, "Ya Rasulullah SAW, aku sangat senang bila senantiasa mengiringi engkau berjuang di jalan Allah. Tetapi kemarin itu ayahku meminta agar aku tinggal di rumah mengurusi saudara-saudaraku. Karena itu, ijinkanlah aku mengikuti peperangan kali ini, sebagai ganti ayahku yang telah syahid di medan Uhud."

            Sebenarnya Nabi SAW mengijinkan mereka yang dalam kesedihan karena kehilangan anggota keluarganya di Uhud untuk tetap tinggal di Madinah. Karena itu beliau menyarankan Jabir untuk tidak menyertai pasukan ini. Tetapi Jabir tetap memaksa sehingga beliau mengijinkannya ikut serta. Peperangan yang dikenal dengan nama Hamra'ul Asad ini, akhirnya tidak sampai terjadi kontak bersenjata, karena pasukan kaum Quraisy ketakutan, dan lebih memilih kembali ke Makkah.



Ayahnya, Abdullah bin Amr bin Haram atau dikenal dengan nama Abu Jabir, gugur di Uhud dengan meninggalkan hutang, maka Jabir datang kepada Nabi SAW untuk minta tolong membebaskan hutang-hutangnya. Beliau-pun menyampaikan permintaan Jabir tersebut, tetapi para pemberi hutang tersebut enggan untuk memenuhinya. Karena itu Nabi SAW bersabda pada Jabir, “Pergilah, atur kurmamu yang bermacam-macam itu, ajwah sebagian, azqa zaid sebagian, dan beberapa lainnya. Beritahukanlah kepadaku jika selesai!"

Jabir melaksanakan apa yang diperintahkan Nabi SAW dan segera diberitahukannya kepada beliau setelah selesai. Beliau memerintahkan Jabir untuk memanggil semua orang yang menghutangi ayahnya. Ketika mereka semua telah berkumpul, beliau duduk di atas atau di tengah-tengah kurma tersebut dan beliau bersabda kepada Jabir, "Takarlah, dan bayarkan kepada mereka yang berpiutang kepada ayahmu…!"

            Mereka yang menagih hutang ayahnya maju satu persatu, Jabir menakar dan memberi tambahan secukupnya, sehingga semua tanggungan ayahnya dapat diselesaikan, dan anehnya kurma-kurmanya yang berada di sekitar Nabi SAW duduk tidak berkurang sedikitpun.
Sungguh suatu peristiwa menakjubkan dimana mu’jizat Nabi SAW membantu menyelesaikan permasalahan yang dihadapi oleh keluarga Jabir bin Abdullah. Ada satu peristiwa lagi, dimana mu’jizat Nabi SAW ikut “campur tangan” sehingga niat baik Jabir yang sebenarnya kecil dan sederhana saja, menjadi berdampak besar dan bermanfaat bagi banyak orang.

Peristiwa ini terjadi saat penggalian parit (khandaq) di sekeliling kota Madinah, sebagai benteng pertahanan atas rencana serangan besar-besaran yang akan dilakukan oleh orang-orang kafir Quraisy Makkah dan sekutunya. Penggalian parit tersebut berlangsung selama hampir satu bulan. Tidak jarang para sahabat pekerja penggalian parit ini dilanda kelaparan karena keterbatasan makanan, termasuk juga Nabi SAW.

Suatu ketika Jabir melihat Nabi SAW dalam keadaan sangat lapar. Memang, ia tidak melihat Nabi SAW memakan sesuatu dalam tiga hari terakhir, kecuali hanya air putih. Bahkan beliau telah mengganjal perut beliau dengan batu untuk mengurangi efek lapar. Jabir memiliki seekor kambing kecil yang tidak terlalu gemuk, dan ia ingin mempersembahkannya untuk Rasulullah SAW, karena itu ia diam-diam pulang. Ia menyembelih dan membakar kambing tersebut, dan menyuruh istrinya untuk membuat roti dari gandum.

Setelah makanan siap, dengan diam-diam ia mengundang Rasulullah SAW saja untuk datang ke rumahnya. Begitu menerima undangan Jabir, Beliau meminta seseorang mengumumkan undangan itu, "Pergilah kalian semua ke rumah Jabir."
Jabir pun terkejut dan menggumam, "Innalillahi wa innaa ilaihi rooji'un."

           Jabir dan Rasulullah SAW berjalanan beriringan ke rumahnya, diikuti semua orang yang menggali parit. Roti dan daging dihidangkan dan Rasulullah SAW membaca Basmalah kemudian mulai menyantap. Setelah selesai, beliau menyuruh satu rombongan masuk untuk makan. Setelah mereka ini kenyang dan keluar rumah Jabir, satu rombongan lagi diperintahkan masuk. Begitu seterusnya berulang-ulang hingga semua sahabat pekerja khandaq jadi kenyang. Sungguh keberkahan karena doa Rasulullah SAW dan keikhlasan Jabir bin Abdullah.

Kisah Sahabat Sa'd bin Khaitsamah RA dan Khaitsamah bin Harits RA


          Sa'd bin Khaitsamah adalah seorang sahabat Anshar yang memeluk Islam pada masa awal, yakni ketika Ba'iatul Aqabah kedua. Ia juga ditunjuk sebagai salah satu dari duabelas pemimpin kaumnya di Madinah, yakni salah satu kabilah dari suku Aus.
Ketika Nabi SAW menggerakkan pasukan ke Badar, Sa'd dan ayahnya, Khaitsamah bin Harits mendatangi Nabi SAW untuk mengikutinya. Tetapi Nabi SAW menolak jika mereka berdua yang mengikutinya, dan hanya salah satu saja yang diijinkan. Khaitsamah berkata kepada anaknya, "Tidak bisa tidak, salah seorang dari kita harus tinggal, karena itu tinggallah kamu bersama istri-istrimu!"
Tetapi Sa'd menolak perintah ayahnya tersebut. Untuk membaktikan diri kepada Nabi SAW dan Islam, ia tidak ingin mengalah begitu saja. ia berkata, "Jika tidak karena jannah, aku akan mendahulukan ayah untuk berangkat. Sesungguhnya aku menginginkan syahid di tempat yang kutuju ini."



          Karena tidak ada yang mengalah dan masing-masing bertahan dengan argumentasinya, Nabi SAW menyarankan mereka melakukan undian. Ternyata Sa'd yang menang dan terpilih ke Badar menemani Rasullullah SAW. Dan Allah memenuhi keinginannya, ia terbunuh syahid di tangan Amr bin Abdu Wadd.

Pada tahun berikutnya, ketika Nabi SAW sedang mempersiapkan pasukan untuk Perang Uhud, Khaitsamah bin Harits mendatangi Nabi SAW dan berkata, “Wahai Rasulullah,tadi malam aku bermimpi bertemu dengan anakku, Sa’d dalam keadaan yang seindah-indahnya. Ia menikmati hidup yang nyaman di surga. Ia berkata kepadaku : Wahai ayah, apa yang dijanjikan Tuhanku benar adanya, maka segeralah temui aku untuk bercengkerama di surga. Pagi harinya waktu bangun, aku sungguh merasa sangat rindu untuk menemani anakku dan bertemu Tuhanku. Wahai Rasulullah, doakanlah kepada Allah agar aku dikaruniai mati syahid…!!”
          Nabi SAW tersenyum mendengar cerita Khaitsamah tersebut dan mendoakan seperti yang dimintanya. Ketika perang Uhud berlangsung, ia langsung menerjunkan diri dalam kancah pertempuran dan akhirnya menemui syahid seperti yang dirindukannya.                   

Kisah Sahabat Sa'd bin Rabi' RA



            Sa’d bin Rabi’ adalah seorang sahabat Anshar, pada masa awal hijrah ke Madinah, oleh Nabi SAW ia dipersaudarakan dengan Abdurrahman bin Auf. Mendengar keputusan Nabi SAW itu, segera saja ia berkata kepada Ibnu Auf, "Aku adalah orang Anshar yang paling kaya, aku bagi dua hartaku dan separuhnya untukmu. Lihatlah istri-istriku, mana yang engkau sukai akan aku ceraikan. Setelah usai iddahnya, engkau bisa menikahinya…"

           Abdurrahman bin Auf berterima kasih atas tawarannya tersebut, tetapi ia tidak mau menerimanya. Ia minta ditunjukkan pasar dan keesokan harinya ia berdagang di Pasar Qainuqa.
Pada perang Uhud, Sa'd bin Rabi' mengalami sekitar tujuh puluh luka, baik karena pedang, tombak ataupun anak panah. Dalam keadaan sekarat dimana nafasnya tinggal satu-satu, datanglah Zaid bin Tsabit yang memang  diperintahkan Rasulullah untuk mencarinya. Zaid berkata, "Wahai Sa'd, sungguh aku diperintah Rasulullah SAW mencarimu, dan beliau mengirim salam untukmu. Dan beliau bertanya kepadamu, bagaimana keadaanmu?"
Dengan sisa-sisa kekuatannya, Sa'd berkata,         


                                                       
            "Kesejahteraan bagi Rasulullah dan bagimu juga. Katakan pada beliau, 'Wahai Rasulullah, aku telah mencium baunya jannah.' Dan katakan kepada kaumku, orang-orang Anshar, 'Kalian tidak mempunyai alasan apapun untuk melepaskan diri dari Rasulullah, walaupun kalian hanya bisa menggerakkan alis kalian…'."

Setelah itu, Sa'd meninggal sebagai syahid dalam perang Uhud tersebut.
Sa’d wafat dengan meninggalkan dua anak perempuan. Seperti kebiasaan jahiliah, saudara dari Sa'd mengambil seluruh harta peninggalan Sa'd. Istri Sa'd, Amrah binti Hizam datang kepada Nabi SAW dengan membawa putrinya, dan berkata,        "Ya Rasulullah, dua anak wanita ini adalah putri Sa'd bin Rabi, yang menyertai tuan dalam perang Uhud dan syahid disana. Paman kedua anak ini mengambil harta bendanya tanpa meninggalkan sedikitpun bagi keduanya. Padahal ia akan sulit mendapatkan jodohnya jika tidak memiliki harta."

Atas pernyataan Amrah ini, Nabi SAW bersabda, "Allah akan memutuskan hukumNya."
Tidak lama berselang, turunlah ayat tentang hukum waris, yakni Surah an Nisa ayat 11-12, dimana salah satunya mengatur hak anak perempuan atas warisan yang ditinggalkan oleh ayahnya. Inilah salah satu wujud penghargaan Islam kepada wanita dan menghapuskan kebiasaan jahiliah yang “menafikan” seorang anak wanita dalam hal harta warisan.

Kisah Sahabat Ummul Mukminin Hafshah binti Umar RA



         Hafshah binti Umar bin Khaththab RA, sebelumnya adalah istri Khunais bin Khudzafah, seorang sahabat yang memeluk Islam pada masa awal. Mereka menikah ketika masih di Makkah, sempat hijrah ke Habasyah, dan langsung berhijrah ke Madinah, ketika Nabi SAW dan para sahabat lainnya hijrah ke sana. Khunais meninggal akibat luka parah yang diperolehnya ketika perang Badar (riwayat lain menyebutkan perang Uhud).

Hafshah dilahirkan lima tahun sebelum kenabian, dan wafat di Madinah pada Jumadil Ula tahun 45 hijriah dalam usia 63 tahun (Riwayat lain menyebutkan, tahun 41 hijriah dalam usia 60 tahun). Khunais meninggal pada tahun 2 atau 3 Hijriah, beberapa bulan kemudian Nabi SAW menikahi Hafshah, ketika itu ia berusia sekitar 21 tahun.

Ketika Hafshah menjadi janda, Umar bin Khaththab menjadi sedih dengan keadaan anaknya tersebut, karena itu ia menemui Abu Bakar dan memintanya untuk menikahi Hafshah, tetapi Abu Bakar hanya diam tanpa berkata apapun. Melihat reaksi ini, Umar menemui Utsman bin Affan, yang saat itu baru saja ditinggal wafat istrinya, Ruqayyah RA, putri Rasulullah SAW. Ia meminta Utsman menikahi Hafshah, tetapi Utsman berkata, "Saat ini, aku belum ada keinginan untuk menikah lagi!"

Mendengar penolakan dari dua orang sahabatnya, yang juga dua orang muslim terbaik, kesedihan Umar menjadi bertambah, karena itu ia mengadukan persoalan ini pada Rasulullah SAW. Mendengar keluh kesah dan kegundahan hati Umar ini, Nabi SAW hanya tersenyum, kemudian beliau bersabda, "Akan aku tunjukkan padamu, suami bagi Hafshah yang lebih baik daripada Abu Bakar dan Utsman, dan bagi Utsman ada istri yang lebih baik daripada Hafshah…"



Umar sempat bingung dan tidak mengerti dengan ungkapan Nabi SAW. Tetapi kemudian menjadi kegembiraan tak terkira ketika beliau mengatakan akan menikahi Hafshah, dan menikahkan Utsman dengan putri beliau lainnya, Ummu Kultsum.

Setelah pernikahan Nabi SAW dengan Hafshah tersebut, Abu Bakar menemui Umar dan meminta maaf atas sikapnya tersebut, ia menjelaskan kalau Nabi SAW menyatakan kepadanya, berniat menikahi Hafshah. Karena itu tidak mungkin ia menerima permintaan Umar untuk menikahi anaknya tersebut, tetapi ia tidak ingin mengatakan rahasia Rasulullah SAW. Atas penjelasan ini Umar berkata, "Sesungguhnya diamnya Abu Bakar, lebih mengejutkan dan menyedihkan daripada penolakan Utsman!"

Hafshah adalah seorang wanita ahli ibadah yang sangat wara'. Namun demikian, seperti halnya Aisyah, ia juga seorang istri dengan kecintaan yang begitu besar kepada Nabi SAW, sekaligus rasa cemburu yang besar kepada istri beliau lainnya. Atas kecemburuan putrinya yang berlebihan ini, Umar pernah menasehatinya, "Hai Hafshah, insyaflah, apa arti dirimu dibanding Aisyah, apalah arti bapakmu ini dibanding Abu Bakar!!"

Pernah juga ia membantah Nabi SAW, sehingga beliau sempat marah selama satu hari. Ketika Umar mendengar hal ini dari istrinya, Umar begitu murka, ia mendatangi Hafshah dan berkata, "Ingatlah wahai Hafshah, akan akibat kemurkaan Allah dan kemarahan RasulNya, jangan engkau merasa iri dengan wanita yang bangga dengan kecantikannya dan kecintaan Rasulullah SAW kepadanya. Demi Allah, engkau tentu tahu bahwa Rasulullah SAW tidak mencintaimu, kalau tidak karena aku, tentu engkau telah dicerai!!"

Nasehat dan juga kemarahan ayahnya ini ternyata belum cukup untuk mengurangi sikap cemburunya hingga batas wajar, sampai akhirnya Allah menurunkan teguranNya, sebagaimana tercantum dalam surah Tahrim 3-5. Apa yang dilakukannya bersama Aisyah RA, sempat menyebabkan terganggunya ketentraman rumah tangga Rasulullah SAW. Beliau sempat mengasingkan diri bersama pembantunya, Abu Rafi RA, menjauhi semua istri-istrinya. Bahkan sempat berkembang isyu bahwa beliau menceraikan semua istrinya.

Sekali lagi Umar memperoleh kabar bahwa penyebab semua ini adalah Hafshah. Dengan luapan marah, bercampur sedih dan malu, Umar mendatangi putrinya tersebut dan berkata, "Barangkali Rasulullah telah menceraikanmu…jika beliau merujukmu, setelah menjatuhkan talak satu, itu hanya karena beliau mengasihani diriku. Jika beliau sampai mentalakmu sekali lagi, aku tidak akan berbicara denganmu selama-lamanya!"

Memang, sebagian riwayat menyebutkan bahwa Nabi SAW menceraikan Hafshah setelah peristiwa itu, hanya kemudian datang Jibril membawa perintah Allah agar beliau merujuk Hafshah, untuk menghilangkan kesedihan Umar. Umar menjumpai Nabi SAW di tempat penyendirian beliau bersama Abu Rafi, ia sempat menangis melihat keadaan Nabi SAW yang begitu menyedihkan, dan meminta maaf atas sikap putrinya. Beliau hanya tersenyum, dan menyatakan bahwa beliau tidak menceraikan istri-istrinya, tetapi hanya menjauhi mereka selama satu bulan.

            Setelah peristiwa ini, dan teguran keras Allah lewat Surat At Tahrim 3 - 5, barulah Hafshah menyadari bahaya yang ditimbulkan dengan sikap cemburunya, dan ia tak pernah lagi mengulanginya.

Senin, 05 Februari 2018

Kisah Sahabat Shafwan bin Umayyah RA



         Kekalahan kaum kafir Quraisy di Perang Badr, juga menewaskan Umayyah bin Khalaf, salah satu tokohnya yang melakukan penyiksaan dengan semena-mena terhadap Bilal bin Rabah. Hal ini membuat anaknya, Shafwan bin Umayyah begitu dendam pada Nabi SAW yang dianggapnya bertanggung jawab atas kematian bapaknya tersebut. Ia menghasud Umair bin Wahb untuk membunuh Nabi SAW. Kesulitan ekonomi keluarga dan hutang-hutangnya akan ditanggungnya jika ia mau membalaskan dendamnya, dan Umair bersedia. Dibuatlah kesepakatan di tempat tersembunyi di dekat batu besar. Tetapi Allah SWT mengabarkan kesepakatan tersebut kepada Nabi SAW lewat malaikat Jibril, sehingga akhirnya Umair bin Wahb masuk Islam. Keadaan tersebut makin membuatnya membenci Nabi SAW.

Setelah perjanjian Hudaibiyah berlangsung, Khalid bin Walid pernah mengajaknya ke Madinah menghadap Nabi SAW untuk memeluk Islam, Khalid memang salah seorang sahabatnya. Tetapi Shafwan menolak dengan keras ajakan Khalid ini, bahkan ia berkata, "Jika tiada siapapun lagi yang tersisa kecuali aku, pasti aku tidak akan mengikutinya selama-lamanya."

Saat Penaklukan (Fathul) Mekkah, Shafwan melarikan diri dari Mekkah karena takut akan pembalasan kaum muslimin akibat perlawanan kerasnya selama ini kepada Nabi SAW. Umair bin Wahb merasa bahwa keislamannya tak lepas dari peran Shafwan ketika menyuruhnya untuk membunuh Nabi SAW, berinisiatif meminta jaminan perlindungan keamanan Rasulullah SAW bagi Shafwan dan beliau menyetujuinya, bahkan memberikan surban beliau sebagai jaminan.



Shafwan yang saat itu bersiap-siap naik kapal di Jiddah untuk lari ke Yaman, berhasil disusul Umair dan dibujuk untuk kembali dengan jaminan Rasulullah SAW dan masuk Islam. Ia bersedia kembali bersama Umair menemui Rasulullah SAW. Di hadapan beliau Shafwan meminta tangguh dua bulan untuk berfikir, tapi Nabi SAW justru memberinya waktu empat bulan untuk menentukan sikapnya.         
Dalam keadaan masih musyrik, Shafwan mengikuti Nabi SAW dalam Perang Hunain, beliau juga meminjam seratus baju besi dan perlengkapannya dari dirinya. Setelah kemenangan di Perang Hunain, Nabi memberikan ratusan unta yang memenuhi bukit kepadanya, sebagai ghanimah sekaligus pengganti sebagian baju besi dan perlengkapan yang rusak dalam peperangan tersebut. Shafwan berlama-lama memandangi unta-unta yang begitu banyaknya, yang diberikan kepadanya, seakan tak percaya kalau semua itu miliknya. Ia berkata, "Tidak ada kepribadian yang sebaik ini kecuali seorang nabi, aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan kecuali Allah, dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah."

            Keislaman Shafwan ini disambut gembira istrinya, Al Baghum binti Mua'ddal dari Bani Kinanah, yang telah memeluk Islam sejak sebelum penaklukan kota Makkah

Kisah Sahabat Suraqah bin Malik bin Ju'syum RA


Suraqah bin Malik bin Ju’syum merupakan seorang tokoh terkemuka di daerah Najd yang berasal dari Bani Kinanah, dan sangat dihargai oleh kaum Quraisy Makkah. Karena itulah ketika Iblis ingin tampil sebagai manusia dalam mendukung permusuhannya kepada Nabi SAW, ia mewujudkan diri sebagai Suraqah bin Malik

Dua kali iblis muncul dalam wujud sahabat ini, pertama saat kaum Quraisy bermusyawarah di Darun Nadwah, saat itu ia mendukung dan menguatkan pendapat Abu Jahal untuk membunuh Nabi SAW. Kedua pada saat perang Badar. Ketika pasukan kafir Quraisy ragu-ragu untuk meneruskan pertempuran, sekali lagi Iblis dalam bentuk Suraqah ini mendukung dan menguatkan mereka. Tetapi ketika iblis melihat pasukan malaikat yang dipimpin Malaikat Jibril, ia segera berlari terbirit-birit. Harits bin Hisyam sempat memegang tangannya dan berkata, “Wahai Suraqah, bukankah engkau berkata akan mendukung kami dan tidak akan meninggalkan kami!!”

Tentu saja Harits mengira dia adalah benar-benar adalah Suraqah bin Malik. Iblis memukul dada Harits hingga ia terjengkang, dan berkata, “Sesungguhnya aku melihat apa yang tidak kamu lihat. Sesungguhnya aku takut kepada Allah, siksaan Allah benar-benar sangat pedih…!!”

Sebagai hasil kesepakatan dari pertemuan kaum Quraisy di Darun Nadwah, para pemuda dari beberapa suku Arab berkumpul di depan pintu rumah Nabi SAW dengan satu tujuan,  membunuh beliau. Tetapi tentu saja dengan mudah Allah menyelamatkan Nabi SAW, beliau melewati mereka, bahkan sempat menaburkan pasir di setiap kepala mereka tanpa mereka menyadarinya (sebagian riwayat menyebutkan mereka tertidur), kemudian beliau berangkat hijrah bersama Abu Bakar.
Tetapi kegagalan tersebut tidak menyurutkan maksud kaum kafir Quraisy untuk menghabisi Nabi SAW. Mereka terus melakukan pencarian dan bahkan mengadakan sayembara, siapapun yang bisa membawa atau menunjukkan keberadaan Nabi SAW akan memperoleh hadiah 200 ekor unta.



Salah seorang yang berhasil menelusuri jejak perjalanan Nabi SAW adalah Suraqah bin Malik. Ia memperoleh informasi salah seorang dari kaumnya, Bani Mudlij, yang melihat sekelompok orang berjalan di pesisir, yang dikiranya adalah rombongan Nabi SAW yang dicari-cari kaum Quraisy. Suraqah membenarkan dalam hatinya, tetapi karena tidak ingin kedahuluan orang lain untuk memperoleh hadiah yang dijanjikan, ia berkata kepada orang itu, "Bukan, mereka adalah Fulan bin Fulan yang pergi karena tidak ingin kita lihat."

Tetapi diam-diam ia menyuruh pembantunya untuk menyiapkan kuda dan perlengkapannya. Ketika tidak ada orang yang melihatnya, ia segera memacu kendaraannya ke pesisir yang ditunjukkan orang tersebut. Suraqah mengendarai kuda yang cepat, sehingga ia bisa mengejar rombongan hijrah Nabi SAW tersebut dan jaraknya semakin dekat. Nabi Saw tetap tenang, sementara Abu Bakar yang duduk di boncengan unta Nabi SAW, terlihat cemas dan berkali-kali melihat ke belakang.

Setelah jarak makin dekat, tiba-tiba kuda Suraqah terjerembab jatuh, Nabi SAW terus saja berjalan tanpa memperdulikan Suraqah yang mengejarnya. Setelah berhasil mendekati lagi, Suraqah menyiapkan anak panahnya, tetapi lagi-lagi kudanya terjerembab, sementara Nabi SAW terus berjalan. Masih juga penasaran, setelah berhasil membebaskan kudanya, ia mengejar lagi, tetapi untuk ketiga kalinya, kudanya terjerembab dan kali ini diikuti dengan debu yang bertaburan di udara. Sadarlah Suraqah bahwa orang yang dikejarnya bukanlah orang sembarangan.

Setelah berhasil membebaskan kudanya dan tidak ada lagi niat untuk menangkap atau membunuh Nabi SAW, ia berhasil mendekati rombongan beliau dan memanggilnya. Setelah berhadapan dengan Nabi SAW, ia meminta maaf dan memohon untuk tidak diapa-apakan. Ia juga menawarkan untuk memberikan perbekalan yang dibawanya. Nabi SAW memaafkannya tetapi menolak pemberiannya, hanya saja beliau meminta untuk merahasiakan pertemuannya itu.

Suraqah meminta jaminan keamanan dari Nabi SAW, dan beliau menyuruh Amir bin Fuhairah untuk menuliskannya di sebuah kulit, dan menyerahkannya kepada Suraqah. Sesaat kemudian Rasulullah SAW berkata pada Suraqah, "Wahai Suraqah, bagaimana perasaanmu jika engkau memakai dua gelang Kisra?"

            "Kisra bin Hurmuz?" Suraqah tercengang tak mengerti.                                                                    Nabi SAW tersenyum memandang ekspresi Suraqah, tetapi beliau tidak menjelaskan lebih lanjut. Kemudian beliau meninggalkannya meneruskan perjalanan hijrah.     
Begitulah waktu berlalu, di masa kekhalifahan Umar bin Khaththab, datang ghanimah dari Persia yang telah dikalahkan pasukan muslim. Umar teringat akan kisah Rasulullah SAW bersama Suraqah, ia mencari dua gelang Kisra di antara tumpukan ghanimah. Setelah ditemukan, Umar memanggil Suraqah dan berkata, "Pakailah dua gelang ini, naiklah ke mimbar dan angkat tanganmu, lalu katakan, : Mahabenar Allah dan RasulNya."   

Suraqah maju ke mimbar, ia melakukan apa yang diperintahkan Khalifah Umar dengan penuh haru. Terbayang di matanya apa yang dikatakan Nabi SAW bertahun yang lalu ketika beliau hijrah. Sungguh sangat tidak terbayangkan saat itu, bahwa orang-orang muslim akan mampu mengalahkan dan menghancurkan imperium besar yang telah berusia ratusan tahun, Kerajaan Persia.

Tidak ada kejelasan riwayat, apakah Suraqah memeluk Islam saat bertemu dengan Nabi SAW di perjalanan hijrah tersebut atau waktu lainnya. Sebagian riwayat menyebutkan ia memeluk Islam ketika Nabi SAW kembali dari Haji Wada’ ketika beliau berada di Ji’ranah. Tetapi yang jelas pada akhirnya  ia memeluk Islam telah menjadi saksi dari kebenaran "ramalan" beliau SAW.

Arsip Blog