Ketika di Darussalam Abah membicarakan tentang kedudukan niat diterangkan Imam Ghazali dalam kitab Ihya ‘Ulumuddin bahwa hakikat niat itu adalah inbi’ats
atau motivator penggerak di dalam hati, jadi apa yang menjadi motivasi
kita itu adalah niat kita, kalau motivasi kita keridhaan Allah, berarti
niat kita karena Allah
Ada orang tidak suka dgn Abah melaporkan ke kantor Dewan Guru,
sehingga dari diskusi dewan guru . Abah Guru dikeluarkan saja dari
jajaran staf pengajar Darussalam.
Akibat fitnah itu, Abah Guru tidak mau diam dirumah , karena beliau
tidak mau keluarga di rumah ikut mendapat fitnah jua . Beliau berdiam
Musholla Darul Aman, dengan perbekalaan seadanya . Beliau fokus
beribadah hingga beberapa bulan lamanya. Semua itu tidak membuat beliau
berkecil hati dengan anugerah Allah, beliau tetap merasa bersyukur atas
apapun yang menimpa dan memang harus dijalani.
Bagi Abah Guru hal ini menimbulkan hikmah tersendiri, karena dengan
adanya kejadian ini beliau lebih konsentrasi kepada hapalan al-Qur’an,
beliau menjadi akrab dengan ayat-ayat kitab Allah tersebut, tanpa harus
selalu membuka lembaran-lembarannya, karena pada akhirnya beliau hapal diluar kepala 30 juz wahyu Allah tersebut hanya dalam waktu tidak lebih dari 7 bulan lamanya.
Waktu-waktu berada di Musholla Darul Aman beliau lewati dengan penuh
semangat, sehari-harinya hanyalah berada di Musholla. Ia tidak ingin
pulang sebelum selesai Khatam menghafalkan Al-Qur'an. Adapun masalah
makan ia dapatkan dari sepiring nasi setiap hari yang diberikan oleh
keluarganya. Nasi tersebut kemudian beliau bagi menjadi tiga bagian,
satu bagian untuk sarapan pagi, sebagian lagi untuk makan siang, dan
sisanya untuk makan malam walaupun nasinya sudah agak keras dan
terkadang bersemut.
Menyebarnya kabar sesatnya Abah guru , sebagian ulama tak percaya ,
bagaimana bisa terjerumus kepada hal yang demikian pada beliau orang
‘alim , apalagi beliau adalah kemenakan al-‘Alimul Fadhil Tuan Guru
Semman Mulya, rasanya tidak mungkin tuan guru itu akan mendiamkan
kemenakannya, jikalau memang ilmu yang diyakini kemenakannya ternyata
berbeda dengan faham ahlu sunnah wal jama’ah.
Suatu hari, saat berada dalam Musholla Darul Aman , Guru Darussalam
bertanya masalahnya . Abah Guru mengatakan bahwa jawaban ada di dalam
kitab yang dibawa ulama itu, ternyata kebetulan ulama tersebut membawa
kitab Ihya ‘Ulumuddin karangan Imam al-Ghazali.
“Jelaslah sudah permasalahannya, kalau demikian ini semua adalah fitnah”
katanya. Namun Guru Zaini tidak ingin memperpanjang permasalahan ini,
bagi beliau cukup Allah SWT saja yang menjadi saksi kebenaran beliau.
Guru Zaini sudah memutuskan untuk tidak kembali lagi mengajar di
Darussalam, beliau lebih memilih menyendiri, mendalami ilmu dengan
muthola’ah dan memperbanyak ibadah kepada Allah SWT. Beliau merasakan
hikmah dibalik semua kejadian itu sangatlah positif, menjadi lebih dekat
dan makrifat dengan Allah SWT. Beliau sering pergi ke makam Syeikh
Abdussamad Bugis di Tungkaran, disana beliau banyak beribadah dan
memuthala’ah kitab-kitab ilmu agama.
Hikmah kejadian ini melahirkan berkah tersendiri bagi umat muslim di
bumi Kalimantan. Dengan keluarnya beliau dari jajaran staf pengajar
Pondok Pesantren Darussalam malah membuat beliau menjadi milik semua
umat, karena ilmu titipan Allah pada beliau bisa dikaji oleh berbagai
kalangan di Majlis Ta’limnya.
Dan akhirnya Abah Guru dapat izin Rasulullah membuka majlis di
keraton yang menurut cerita awal muridnya Cuma 7 orang ( salah satu
alhmarhum Guru Zaini Mursyid di sekumpul bisa jadi imam di mushalla
Ar-raudhah ) . Dan cerita Sofwan, salah seorang santri yang ikut belajar
di majelis ta’lim Guru Zaini ketika itu menceritakan, bahwa sekitar
penghujung tahun 1966, ia dan teman-temannya yaitu Mahmud dan Fathullah
yang menjadi murid Guru Zaini sejak tahun 62-an, mereka disewakan oleh
Guru Zaini sebuah rumah untuk tempat tinggal selama mengaji ditempat
beliau . Sofwan menceritakan pula bahwa selama berdiam di rumah itu
selain mendapatkan bimbingan ilmu dan amal, mereka juga mendapatkan
bantuan secara materi dari Guru Zaini yang membelikan kebutuhan hidup
mereka sehari-hari; dari beras, lauk maupun kebutuhan lainnya. Malah
terkadang Guru Zaini sendiri yang memasakkan makan siang mereka. Sofwan
dan teman-temannya pun seusai pulang sekolah di Pesantren Darussalam
tinggal makan saja. Di masa itu menurut cerita Sofwan lagi, ia sering
mengalami sakit, sehingga Guru Zaini selalu memanggil seorang mantri
yang bernama Umar, langganannya, untuk mengobati dirinya.
Menurut cerita sahabatku Ustadz Fauzi di Balikpapan yg bulan2 ini
bailing kerumah orang yang menjagakan ketika Abah guru mengafal di Darul
Aman itu masih hidup . Beliau asalnya orang martapura asli karena usaha
terdiam di balikpapan dan hafal al-qur’an . Inipun beberapa kali
asalnya menutupi diri dan akhirnya beliau kasih tahu jua namun beliau
tidak mau dikenal orang banyak .
Moga dengan kisah ini kita sabarataan dapat berkah Abah guru … aamiin
0 komentar:
Posting Komentar