Al-Haal (kondisi ruhani) menurut banyak orang merupakan arti yang intuitif dalam hati, tanpa adanya unsur sengaja, usaha menarik, dan usaha lainnya, dari rasa senang atau sedih, leluasa atau tergenggam, rindu atau berontak, rasa takut atau suka cinta, maka setiap al-Haal merupakan karunia.
Dan setiap Maqam adalah upaya. Pada al-Haal datang dari Wujud itu sendiri, sedang al-Maqam
diperoleh melalui upaya perjuangan. Orang yang memilik Maqam, menempati maqamnya, dan orang yang berada dalam Haal, bebas dari kondisinya.
Salah seorang guru berkata : “Beberapa al-Haal seperti kilatan kalau menetap, itu
sekedar omongan nafsu.”
Mereka berkata : “Al-Haal sebagaimana namanya, yakni al-Haal seperti ketika
menempati dalam kalbu, kemudian hilang.
Kalau tidak menempati, pasti tidak dinamakan haal. Dan setiap yang menempati, pastilah
hilang,
Lihatlah pada bayangan ketika sampai ujungnya Berkuranglah ketika ia memanjang
Beberapa kalangan mengisyaratkan abadinya al-Haal. Mereka berkata :
“Sebenarnya jika al-Haal tidak abadi dan tidak terdelegasi, itu hanyalah kilatan belaka. Pelakunya tidak sampai pada al-Haal yang sebenarnya. Apabila predikat tersebut menetap terus, dinamakan al-Haal.”
Di sinilah Abu Utsman al-Hiry berkata:
“Aku tidak pernah benci terhadap maqam yang telah diberikan Allah SWT kepadaku.” Ia
mengisyaratkan ketetapan abadinya dalam ridha. Dan ridha merupakan bagian dari al-
Haal.
Seharusnya dikatakan : Orang yang mengisyaratkan abadinya al-Haal, maka apa yang dikatakannya benar. Terkadang al-Haal berarti bagian dari seseorang kemudian terpelihara di dalamnya. Tetapi yang memiliki al-Haal ini memiliki beberapa ihwal, yaitu jalan-jalan yang tak menetap di atas ihwal-
ihwalnya yang menjadi bagiannya. Bila jalan-jalan yang ditempuh menetap secara konsisten, seperti menetapnya ihwal-ihwal tersebut, ia naik ke ihwal lain yang lebih lembut. Dan begitu selanjutnya, naik ke tahap seterusnya.
0 komentar:
Posting Komentar