“Ulama bukanlah malaikat dari langit yang turunkan ke bumi untuk menyelesaikan persoalan manusia dengan mukjizat, secepat kilat untuk kemudian kembali ke langit. Ulama adalah orang biasa yang melakukan pekerjaan-pekerjaan besar, dalam masa yang panjang, sampai waktu mereka habis”.
Perjalanan sejarah dari masa ke masa tak luput dari kilasan perjalanan sosok para ulama. Merekalah garda terdepan semangat juang yang tengah dikobarkan. Merekalah guru bagi peradaban yang agung. Peradaban yang melahirkan jundi-jundi yang ikhlas mempertaruhkan dirinya atas nama dien yang mulia, al-Islam.
Bangsa yang besar adalah bangsa yang mau menghargai jasa-jasa para pahlawannya. Ungkapan klasik ini memiliki makna penting dalam pembangunan bangsa ke depan. Begitu pula umat yang besar adalah umat yang mau menghargai, mengenang, menelusuri dan mengikuti jejak langkah para ulamanya. Sebab sangat jelas, ulama adalah pewaris para nabi, karena peran dan perjuangan para ulama yang telah mendahului perjuangan para penerusnya saat inilah, akhirnya dakwah sampai kepada kita.
Karena itulah sudah seharusnya bila kiprah dan sumbangsih para ulama tersebut perlu diapresiasi, dihargai, dikenang, dipelihara, diteruskan dan dikembangkan untuk kepentingan pembangunan masyarakat dan bangsa Indonesia, untuk menghadapi tantangan global.
Dari sekian banyak tokoh ulama yang perlu diketahui oleh anak bangsa dan para penerus perjuangan, mereka adalah para ulama Indonesia yang berasal dari pulau Kalimantan (Borneo). Karena peran mereka yang sangat berarti bagi negara dan bangsa, khususnya di bumi Kalimantan.
Nama Syaikh Muhammad Arsyad menempati hati masyarakat Kalimantan dan Indonesia sebagai ulama besar dan pengembang ilmu pengetahuan dan agama. Belum ada tokoh yang mengalahkan kepopuleran nama Syaih Arsyad Al-Banjari. Karya-karyanya hingga kini tetap dibaca orang di masjid dan disebut-sebut sebagai rujukan. Nama kitabnya Sabilal Muhtadin diabadikan untuk nama Masjid Raya di Banjarmasin. Nama kitabnya yang lain Tuhfatur Raghibin juga diabadikan untuk sebuah masjid yang tak jauh dari makan Syaikh Arsyad.
Tak hanya itu, hampir seluruh ulama di Banjarmasin masih memiliki tautan dengannya. Baik sebagai keturunan atau muridnya. Sebut saja nama almarhum K.H. Muhammad Zaini, yang dikenal dengan nama Guru Sekumpul itu, adalah keturunan Syaikh Arsyad. Hampir semua ulama di Kalimantan, Sumatera, Jawa, dan Malaysia, pernah menimba ilmu dari syaikh atau dari murid-murid syaikh.
Bumi Kalimantan tidak hanya melahirkan Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari dengan karyanya “Sabilal Muhtadin” yang masyhur itu. Dari pulau yang dilintasi garis khatulistiwa ini juga mengorbit sebuah bintang yang kini menempati gugusan ulama terkemuka Nusantara. Dialah Syekh Muhammad Nafis Al-Banjari yang salah satu karyanya, “Durr Al-Nafis”, masih dibaca sampai sekarang.
Setelah Arsyad Al-Banjari, Muhammad Nafis adalah ulama paling berpengaruh di Kalimantan. Muhammad Arsyad lebih masyhur sebagai ulama fiqh lewat karyanya yang monumental tadi, sedangkan Muhammad Nafis lebih terkenal sebagai ahli tasawuf, melalui karyanya yang juga beredar luas di Nusantara.
Muhammad Nafis bin Idris bin Husain Al-Banjari berasal dari keluarga bangsawan. Beliau dilahirkan di Martapura, Kalimantan Selatan, pada tahun 1148 Hijriah atau tahun 1735 Masehi. Nafis hidup dalam kurun waktu yang sama dengan Syekh Arsyad, yang lahir pada 1122/1710. Jika Arsyad meninggal tahun 1227/1812, Nafis belum diketahui tahun wafatnya. Yang kita ketahui, peristirahatan terakhir beliau di desa Kelua, sekitar 125 kilometer dari Banjarmasin.
Sederet nama-nama besar terus menghias panggung sejarah bumi Kalimantan dari masa ke masa. Nama dan dedikasi mereka tertoreh dengan tinta emas. Sebut saja di antaranya, ada Mufti Jamaluddin al-Banjari, mufti Banjar pertama. Syeikh Sa’duddin, pelopor dakwah di Banua Anam, KH. Muhammad Kasyful Anwar, sang penggagas perubahan Darussalam yang rendah hati, Syeikh Muhammad Afif, pemancang tiang guru mesjid al-Karomah. Qadhi KH. Husein Qadri, Qadhi sekaligus penulis yang murah senyum. KH Badruddin, ulama, pendidik dan politikus ulung, KH. Muhammad Rasyad, ulama yang ulet menyampaikan dakwah Islam, KH. Zainal Ilmi, ulama yang tegas, berwibawa dan selalu merendah. KH. Muhammad Syarwani Abdan, kyai santun nan rendah hati, pencetak kader ulama. Syeikh H. Anang Sya’rani, muhaddits pertama Kalimantan. KH. Saman Jalil, ulama sang astronom. KH. Muhammad Hanafi Gobet, kyai pendidik sekaligus politikus yang berwibawa.
Kisah-kisah para ulama yang malang melintang di “jagad” dakwah itu, adalah jua tetesan hikmah yang dapat menjadi ibroh bagi para penyeru dienullah yang mulia ini. Refleksi mereka adalah refleksi kita. Masalah yang mereka hadapi juga kita hadapi, entah kemarin, kini atau esok. Idealisme mereka adalah juga idealisme kita.
Di tengah kelangkaan apresiasi ummat terhadap figur tokoh-tokoh ulama yang telah wafat, yang tersebar di bumi Borneo, agaknya penting bagi kita untuk menghargai jerih payah perjuangan dari tokoh-tokoh ulama tersebut. Karena kita sadar bahwa bangsa yang besar adalah bangsa yang mampu merealisasikan cita-cita para pendahulunya, sebaliknya satu bangsa akan menjadi kerdil bila ia mengkhianati cita-cita perjuangan para pendahulunya. Umat akan menjadi merosot bila cita-cita perjuangan yang telah ditanamkan dan disemai oleh para ulama, kemudian mereka tidak bisa menjalankan jejak langkahnya.
Bagi generasi muda masa kini, kita berharap saatnya untuk mengenang kembali, kemudian menghargai dan meneruskan cita-cita dan perjuangan mereka dalam konteks kekinian. Selain itu, menelusuri jejak-jejak sejarah ulama mampu merekatkan kembali jalinan psikologis dan spiritual dari para ulama tersebut. Dari peran mereka kita dapat mengetahui akar-akar pemikiran, akar-akar perjuangan, serta pengaruh yang muncul dalam fenomena kebangsaan kita. Sehingga paparan ini dapat memberikan gambaran utuh mata rantai perjuangan tokoh-tokoh Islam dulu, kini dan esok.
Gambaran tersebut akan sangat berarti bagi individu-individu yang ingin mempelajari dan menelaah kembali jaringan ulama Kalimantan yang mempersembahkan dedikasi dan loyalitasnya untuk pembangunan bangsa.
Lewat penggalan kisah para ulama itu, kita dapat beroleh hikmah. Hikmah yang mendalam. Bagaimana pahit getir, susah senang mereka dalam mengembangkan payung dakwah ini. Bagaimana tekad mereka dalam membumikan kalimat Laa ilaha illallah di tanah di mana mereka berpijak. Semoga hikmah ini menjadi amunisi yang membuat semangat kita berkobar-kobar.
Harapan kita, ummat dapat senantiasa mengenang dan memahami kembali sejarah perjuangan masa lalu, akar-akar intelektual, perjuangan dan kiprah para tokoh ulama Borneo, untuk kemudian meneruskan dan mengembangkan cita-cita dan perjuangan yang mungkin saja belum selesai, bisa jadi pelanjutnya lebih pintar memberi kesan happy ending, dengan kemasan yang proporsional dengan semangat zaman.
Akhirnya, kita berharap, proyek penulisan tokoh dan ulama Kalimantan bisa diwujudkan secara bertahap pada masa mendatang, sehingga pada akhirnya menjadi sebuah buku biografi tradisi bangsa-bangsa yang menghargai ulamanya.
Dari lubuk hati terdalam, perkenankan kami anak bangsa pasang tabik, haturkan hormat padamu Kusuma Bangsa. Sampai akhir hayatmu engkau menjadi cahaya yang tak henti-hentinya berpedar menerangi persada Nusantara hingga jiwa kami bergelora
Apimu mendorong langkah kami ke depan agar semakin berlimpah pencapaian.
(Salam ta’zhim tuk seluruh zuriyat dan kerabat alm.Abah Guru KH.Zaini Abdul Ghani, Sekumpul; KH. Anang Jazuli, KH. Asywadie Syukur, Lc.MA, dan KH. Husein Nafarin, MA).
Perjalanan sejarah dari masa ke masa tak luput dari kilasan perjalanan sosok para ulama. Merekalah garda terdepan semangat juang yang tengah dikobarkan. Merekalah guru bagi peradaban yang agung. Peradaban yang melahirkan jundi-jundi yang ikhlas mempertaruhkan dirinya atas nama dien yang mulia, al-Islam.
Bangsa yang besar adalah bangsa yang mau menghargai jasa-jasa para pahlawannya. Ungkapan klasik ini memiliki makna penting dalam pembangunan bangsa ke depan. Begitu pula umat yang besar adalah umat yang mau menghargai, mengenang, menelusuri dan mengikuti jejak langkah para ulamanya. Sebab sangat jelas, ulama adalah pewaris para nabi, karena peran dan perjuangan para ulama yang telah mendahului perjuangan para penerusnya saat inilah, akhirnya dakwah sampai kepada kita.
Karena itulah sudah seharusnya bila kiprah dan sumbangsih para ulama tersebut perlu diapresiasi, dihargai, dikenang, dipelihara, diteruskan dan dikembangkan untuk kepentingan pembangunan masyarakat dan bangsa Indonesia, untuk menghadapi tantangan global.
Dari sekian banyak tokoh ulama yang perlu diketahui oleh anak bangsa dan para penerus perjuangan, mereka adalah para ulama Indonesia yang berasal dari pulau Kalimantan (Borneo). Karena peran mereka yang sangat berarti bagi negara dan bangsa, khususnya di bumi Kalimantan.
Nama Syaikh Muhammad Arsyad menempati hati masyarakat Kalimantan dan Indonesia sebagai ulama besar dan pengembang ilmu pengetahuan dan agama. Belum ada tokoh yang mengalahkan kepopuleran nama Syaih Arsyad Al-Banjari. Karya-karyanya hingga kini tetap dibaca orang di masjid dan disebut-sebut sebagai rujukan. Nama kitabnya Sabilal Muhtadin diabadikan untuk nama Masjid Raya di Banjarmasin. Nama kitabnya yang lain Tuhfatur Raghibin juga diabadikan untuk sebuah masjid yang tak jauh dari makan Syaikh Arsyad.
Tak hanya itu, hampir seluruh ulama di Banjarmasin masih memiliki tautan dengannya. Baik sebagai keturunan atau muridnya. Sebut saja nama almarhum K.H. Muhammad Zaini, yang dikenal dengan nama Guru Sekumpul itu, adalah keturunan Syaikh Arsyad. Hampir semua ulama di Kalimantan, Sumatera, Jawa, dan Malaysia, pernah menimba ilmu dari syaikh atau dari murid-murid syaikh.
Bumi Kalimantan tidak hanya melahirkan Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari dengan karyanya “Sabilal Muhtadin” yang masyhur itu. Dari pulau yang dilintasi garis khatulistiwa ini juga mengorbit sebuah bintang yang kini menempati gugusan ulama terkemuka Nusantara. Dialah Syekh Muhammad Nafis Al-Banjari yang salah satu karyanya, “Durr Al-Nafis”, masih dibaca sampai sekarang.
Setelah Arsyad Al-Banjari, Muhammad Nafis adalah ulama paling berpengaruh di Kalimantan. Muhammad Arsyad lebih masyhur sebagai ulama fiqh lewat karyanya yang monumental tadi, sedangkan Muhammad Nafis lebih terkenal sebagai ahli tasawuf, melalui karyanya yang juga beredar luas di Nusantara.
Muhammad Nafis bin Idris bin Husain Al-Banjari berasal dari keluarga bangsawan. Beliau dilahirkan di Martapura, Kalimantan Selatan, pada tahun 1148 Hijriah atau tahun 1735 Masehi. Nafis hidup dalam kurun waktu yang sama dengan Syekh Arsyad, yang lahir pada 1122/1710. Jika Arsyad meninggal tahun 1227/1812, Nafis belum diketahui tahun wafatnya. Yang kita ketahui, peristirahatan terakhir beliau di desa Kelua, sekitar 125 kilometer dari Banjarmasin.
Sederet nama-nama besar terus menghias panggung sejarah bumi Kalimantan dari masa ke masa. Nama dan dedikasi mereka tertoreh dengan tinta emas. Sebut saja di antaranya, ada Mufti Jamaluddin al-Banjari, mufti Banjar pertama. Syeikh Sa’duddin, pelopor dakwah di Banua Anam, KH. Muhammad Kasyful Anwar, sang penggagas perubahan Darussalam yang rendah hati, Syeikh Muhammad Afif, pemancang tiang guru mesjid al-Karomah. Qadhi KH. Husein Qadri, Qadhi sekaligus penulis yang murah senyum. KH Badruddin, ulama, pendidik dan politikus ulung, KH. Muhammad Rasyad, ulama yang ulet menyampaikan dakwah Islam, KH. Zainal Ilmi, ulama yang tegas, berwibawa dan selalu merendah. KH. Muhammad Syarwani Abdan, kyai santun nan rendah hati, pencetak kader ulama. Syeikh H. Anang Sya’rani, muhaddits pertama Kalimantan. KH. Saman Jalil, ulama sang astronom. KH. Muhammad Hanafi Gobet, kyai pendidik sekaligus politikus yang berwibawa.
Kisah-kisah para ulama yang malang melintang di “jagad” dakwah itu, adalah jua tetesan hikmah yang dapat menjadi ibroh bagi para penyeru dienullah yang mulia ini. Refleksi mereka adalah refleksi kita. Masalah yang mereka hadapi juga kita hadapi, entah kemarin, kini atau esok. Idealisme mereka adalah juga idealisme kita.
Di tengah kelangkaan apresiasi ummat terhadap figur tokoh-tokoh ulama yang telah wafat, yang tersebar di bumi Borneo, agaknya penting bagi kita untuk menghargai jerih payah perjuangan dari tokoh-tokoh ulama tersebut. Karena kita sadar bahwa bangsa yang besar adalah bangsa yang mampu merealisasikan cita-cita para pendahulunya, sebaliknya satu bangsa akan menjadi kerdil bila ia mengkhianati cita-cita perjuangan para pendahulunya. Umat akan menjadi merosot bila cita-cita perjuangan yang telah ditanamkan dan disemai oleh para ulama, kemudian mereka tidak bisa menjalankan jejak langkahnya.
Bagi generasi muda masa kini, kita berharap saatnya untuk mengenang kembali, kemudian menghargai dan meneruskan cita-cita dan perjuangan mereka dalam konteks kekinian. Selain itu, menelusuri jejak-jejak sejarah ulama mampu merekatkan kembali jalinan psikologis dan spiritual dari para ulama tersebut. Dari peran mereka kita dapat mengetahui akar-akar pemikiran, akar-akar perjuangan, serta pengaruh yang muncul dalam fenomena kebangsaan kita. Sehingga paparan ini dapat memberikan gambaran utuh mata rantai perjuangan tokoh-tokoh Islam dulu, kini dan esok.
Gambaran tersebut akan sangat berarti bagi individu-individu yang ingin mempelajari dan menelaah kembali jaringan ulama Kalimantan yang mempersembahkan dedikasi dan loyalitasnya untuk pembangunan bangsa.
Lewat penggalan kisah para ulama itu, kita dapat beroleh hikmah. Hikmah yang mendalam. Bagaimana pahit getir, susah senang mereka dalam mengembangkan payung dakwah ini. Bagaimana tekad mereka dalam membumikan kalimat Laa ilaha illallah di tanah di mana mereka berpijak. Semoga hikmah ini menjadi amunisi yang membuat semangat kita berkobar-kobar.
Harapan kita, ummat dapat senantiasa mengenang dan memahami kembali sejarah perjuangan masa lalu, akar-akar intelektual, perjuangan dan kiprah para tokoh ulama Borneo, untuk kemudian meneruskan dan mengembangkan cita-cita dan perjuangan yang mungkin saja belum selesai, bisa jadi pelanjutnya lebih pintar memberi kesan happy ending, dengan kemasan yang proporsional dengan semangat zaman.
Akhirnya, kita berharap, proyek penulisan tokoh dan ulama Kalimantan bisa diwujudkan secara bertahap pada masa mendatang, sehingga pada akhirnya menjadi sebuah buku biografi tradisi bangsa-bangsa yang menghargai ulamanya.
Dari lubuk hati terdalam, perkenankan kami anak bangsa pasang tabik, haturkan hormat padamu Kusuma Bangsa. Sampai akhir hayatmu engkau menjadi cahaya yang tak henti-hentinya berpedar menerangi persada Nusantara hingga jiwa kami bergelora
Apimu mendorong langkah kami ke depan agar semakin berlimpah pencapaian.
(Salam ta’zhim tuk seluruh zuriyat dan kerabat alm.Abah Guru KH.Zaini Abdul Ghani, Sekumpul; KH. Anang Jazuli, KH. Asywadie Syukur, Lc.MA, dan KH. Husein Nafarin, MA).
0 komentar:
Posting Komentar