Suatu hari, menjelang dilaksanakannya ujian akhir nasional, beberapa anak murid sebuah SMA Katholik di kota Malang mendatangi kediaman Kyai Thawaf. Mereka bermaksud minta doa untuk menghadapi ujian akhir, agar diberi kemudahan dalam mengerjakan soal-soal sehingga lulus dengan nilai baik.
Kedatangan murid-murid sekolah Katholik itu suatu hal biasa buat pak kyai, karena beliau memang terbiasa membantu tetangga sekitarnya. Maka mereka pun diterima dan dilayani sebagaimana mestinya. Setelah mendengar maksud kedatangan mereka, pak kiai pun memberikan bacaan tertentu yang harus diamalkan sesuai bilangan tertentu sampai datangnya waktu ujian. Yaitu ”Ya Sayyidi Ya Rasulullah”, maknanya, “Wahai tuanku, wahai Rasulullah.”
Kalimat itu adalah permohonan kepada Rasulullah SAW, seorang yang diyakini sebagai hamba yang istimewa di hadapan Allah SWT, agar beliau SAW menyampaikan hajat yang diinginkan ke hadhirat Allah, Tuhan Yang Maha Berkehendak. Ini adalah salah satu cara dalam berdoa, yang di dalam agama dikenal dengan istilah tawassul. Dalam hal ini, Rasulullah SAW diyakini sebagai wasilah atau perantara untuk menyampaikan hajat di sisi Allah SWT, bukan diyakini sebagai pihak yang menentukan terkabulnya atau terwujudnya hajat tersebut.
Merasa sangat membutuhkan, para siswa itu pun memperhatikan perintah itu dengan seksama dan menjalankannya dengan penuh keyakinan. Ketika ujian tiba, para siswa SMA Katholik tersebut dapat mengerjakan soal ujian dengan baik, termasuk dalam mata ujian yang selama itu selalu jadi momok bagi mereka, dan akhirnya mereka lulus dengan nilai baik.
Hal ini tentu saja membuat guru dan pendeta yang membimbing mereka merasa heran dan penasaran. Yang menjadikan mereka penasaran, jawaban murid-murid mereka itu hampir mirip semua, termasuk pelajaran yang mereka anggap sulit. Padahal ketika mereka mengikuti ujian tersebut, penjagaan sangat ketat, sehingga tidak memungkinkan terjadinya kerja sama dalam mengerjakan soal-soal ujian. Namun, mereka tidak tahu ke mana dan kepada siapa mencari tahunya.
Hingga pada malam harinya salah seorang pendeta yang mengasuh siswa-siswa itu bermimpi didatangi seseorang yang mengenakan jubah serba putih. Pendeta bertanya kepada tamu yang asing baginya itu, “Mengapa para siswa di sekolah saya dapat mengerjakan soal-soal ujian dengan baik dan dengan jawaban yang hampir mirip. Padahal ujian tersebut mendapat penjagaan ketat?”
“Tanyakan saja kepada Kiai Thawaf,” jawab tamunya yang berjubah putih itu. Setelah itu tamunya menghilang dan sang pendeta terbangun.
Esoknya pendeta itu berusaha mencari tahu Kiai Thawaf sesuai dengan petunjuk yetng diterimanya dalam mimpi. Tidak sulit untuk mencari sang kiai, karena dia tokoh terkenal di kota Malang.
Lalu keduanya pun bertemu dan berdialog. Dan tidak lupa sang pendeta bercerita soal mimpinya dan rasa penasaran terhadap para siswa yang ikut ujian.
Kiai Thawaf menjawab singkat, “Mereka mengamalkan bacaan-bacaan shalawat tertentu, yaitu amalan yang biasa diamalkan para pengikut Tarekat Wahidiyah, yakni bacaan Ya Sayyidi Ya Rasulullah.”
Sang pendeta merasa heran dengan jawaban itu. Hanya dengan membaca bacaan sederhana itu, para muridnya dapat mengatasi masalah ujian mereka. Dia tidak percaya begitu saja. Tapi buktinya, sukses telah diraih para muridnya.
Memikirkan kejadian irasional itu membuat sang pendeta berkeinginan pula mengamalkan bacaan tersebut. la pun minta izin kepada pak kiai. Meski pendeta itu beragama Katholik, Kiai Thawaf mengizinkan untuk membaca sebanyak-banyaknya. Kiai Thawaf juga menerangkan kepada tamunya bahwa bacaan itu adalah amalan yang diijasahkan oleh K.H. Abdul Majid Ma’ruf, Kedunglo, Kediri, pimpinan Tarekat Wahidiyah.
Beberapa hari kemudian, setelah mengamalkan bacaan tersebut, sang pendeta minta kesediaan Kiai Thawaf untuk mengantarkan dirinya sowan kepada Kiai Abdul Majid Ma’ruf di kediamannya. Kiai Thawaf tidak menolak niat tersebut. Maka, berdua mereka pergi ke Kedunglo, yang jaraknya dari Malang tidak terlalu jauh.
Begitu bertemu dengan Kiai Abdul Majid Ma’ruf, pak pendeta menjadi kaget. Ternyata kiai berjubah putih yang ditemui saat mimpi tidak lain adalah K.H. Abdul Majid Ma’ruf, pemimpin Tarekat Wahidiyah.
Pendeta itu kemudian mengutarakan maksudnya sowan kepada pak kiai, termasuk pengalamannya dalam mimpi. Namun yang paling penting, tanpa pikir panjang lagi, dia kemudian minta dibai’at menjadi muslim kepada Kiai Ma’ruf.
“Kalung salib ini akan kulepaskan,” kata sang pendeta sambil berusaha menanggalkan kalung yang melilit di lehemya.
“Tidak usah,” kata Kiai Ma’ruf dengan nada datar. “Biar untuk kenang-kenangan.” Maka, Kiai Ma’ruf pun menerima ikrar pendeta itu masuk Islam.
K.H. Abdul Majid Ma’ruf adalah pendiri Amalan Sholawat Wahidiyah di Kediri yang banyak pengikutnya. la lahir pada 1920 dan wafat pada 7 Maret 1989 (29 Rajab 1409) di Kedunglo, Kediri, Jawa Timur. Ia sangat disegani dan dihormati oleh pengikutnya.
0 komentar:
Posting Komentar