Di Amuntai Kabupaten Hulu Sungai Utara, tepatnya di desa Waringin, Kecamatan Haur Gading, terdapat masjid tua bernama Masjid Assu’ada yang selama ini tidak banyak diketahui masyarakat Kalimantan Selatan, lantaran lokasinya yang agak terpencil, dan prasarana jalan yang relative sempit untuk menuju masjid tersebut. Lokasi masjid ini sebenarnya tidak terlampau jauh dari kota Amuntai, mungkin hanya sekitar 7 km, namun kendaraan roda empat hanya bisa sampai ke desa Teluk Keramat Haur Gading, selebihnya untuk menuju masjid ini harus memakai kendaraan roda 2 atau berjalan kaki sejauh kira-kira 1.5 km menelusuri jalan sempit di pinggiran sungai.
Masjid Assu’ada memang masjid tua. H. Barkati, kepala desa Waringin yang juga juru pelihara masjid, masjid ini dibangun pada tahun 1901. Informasi ini diperolehnya dari kakeknya bernama H. Muslim. Pada saat masjid itu dibangun H. Muslim kecil berumur sekitar 7-10 dan sudah berakal dan berani berjalan sendiri ke pasar Ahad. Menurut H. Muslim salah satu tukang pembangun masjid itu adalah H. Ahmad bin Abu yang tidak lain adalah datuk H. Barkati.
Menurut versi lain sebagaimana terdapat dalam laporan pendokumentasian Masjid Assu’ada yang dilaksanakan oleh Bidang Permuseuman dan Kepurbakalaan Kanwil Depdikbud Provinsi Kalsel tahun 1987, masjid ini diperkirakan dibangun pada tahun 1886. Perkiraan ini didasarkan kepada inskripsi dengan aksara arab melayu pada cungkup makam salah seorang ulama sekaligus pendiri masjid yakni H. Abdul Gani di Kampung Teluk Keramat. Pada kubah tertulis: Almarhum Syeikh Haji Abdul Gani wafat 15-4-1336 H, 19-1-1916 M. Kalau yang bersangkutan meninggal dalam usia 70 tahun, aktif membangun masjid dalam usia 40 tahun maka diperkirakan masjid berdiri pada tahun 1886 M.
Informasi lain menyatakan bangunan masjid di lokasi sekarang merupakan pindahan dari lokasi pertama yang berada di pinggir sungai Waringin (aliran Sungai Hanyar cabang Sungai Tabalong) yang terancam longsor berada persis di arah barat depan masjid sekarang (versi lain menyatakan lokasi pertama berada di seberang sungai). Berdasarkan keterangan tersebut, dapat diperkirakan bahwa masjid pertamakali dibangun sekitar tahun 1886 dengan lokasi di pinggir sungai Waringin. Karena pondasi masjid runtuh/lonsor akibat abrasi sungai, maka sekitar tahun 1901 bangunan masjid dibongkar dan dipindah ke lokasi sekarang, tidak jauh dari lokasi pertama.
Bangunan pertama yang semula bertipe lantai panggung, ketika dibangun kembali di lokasi kedua lantainya tidak lagi ulin melainkan dengan tehel (ubin) yang didatangkan dari Singapura. Pada waktu itu, sebagian penduduk Waringin dan sekitarnya ada yang berprofesi sebagai pedagang antar pulau. Mereka berlayar hingga sampai ke pulau Jawa, Sumatera, bahkan Singapura dan Semenanjung Malaya, sehingga ketika kembali ke kampung halaman mereka membawa barang dagangan, atau bahan yang diperlukan untuk pembangunan masjid seperti ubin, dan lain sebagainya.
Selain tokoh ulama dan sekaligus pendiri masjid yakni H. Abdul Gani (asal kelahiran Alabio), tokoh ulama lainnya yang berperan terhadap masjid ini adalah H. Nawawi, H. Durahman, dan H. Marhusin di Waringin, serta H. Mahmudin dari Tengkawang. Mereka adalah juga tokoh ulama yang berperan penting dalam kegiatan ibadah sholat, pengajian, dan dakwah kepada masyarakat Waringi, Haur Gading, Tengkawang, dan sekitarnya.
Masjid ini merupakan masjid tertua dan satu-satunya di Waringin, dan Haur Gading. Waringin, dahulunya terdiri dari berbagai desa seperti Waringin, Tengkawang, Teluk Haur, dan Tuhuran. Sedangkan Haur Gading juga terdiri dari beberapa desa yakni Haur Gading, Keramat, Jingah Bujur, Pulutan, dan Tambak sari Panji. Waringin dan Haur Gading, dahulunya hanya punya satu masjid yakni Masjid Assu’ada Waringin.
Masyarakat desa-desa itu selalu menjalankan ibadah sholat Jumat di masjid ini. Bahkan di sinilah tempat dilaksanakan mengaji duduk, yang mana para jamah pengajian dari beberapa kampung dan bahkan konon dari kampung Negara datang ke Waringin dengan perahu tambangan untuk mengaji di Waringin yang saat itu tekenal memiliki ulama besar seperti halnya H. Abdul Gani. Oleh karena itu, ada yang mengaitkan bahwa asal nama desa Waringin karena dahulunya desa ini tempat beradanya ulama-ulama yang Wara’ yakni istilah bagi ulama yang apik dalam melaksanakan ibadah. Ada pula yang mengatakan bahwa dinamakan Waringin karena dahulunya di tepian sungai Waring ini tumbuh pohon beringin.
Pada saat didirikan untuk pertama kalinya dan ketika bangunan masjid ini dipindah ke lokasi sekarang ini, masjid ini dahulunya bernama Masjid Assuhada. Penamaan itu mungkin berkaitan dengan usaha para pendiri masjid yang berdakwah menyebarkan Islam di daerah Waringin dan sekitarnya dan mendirikan masjid di sini. Perjuangan mereka dianggap jihad fi sabilillah dan mereka yang berada di jalan itu disebut sebagai syuhada atau syahid.
Kini masjid ini dinamakan Masjid Assu’ada. Assu’ada berasal dari kata Su’ada artinya ”beruntung”. Perubahan nama dari Assuhada menjadi Assu’ada menurut informasi H. Abdul Wahab (63 tahun) terjadi pada tahun 1965-an, yakni pada saat panitia masjid diketuai oleh H. Abdurrahman, seorang ulama lulusan Pesatren Gontor Ponorogo. Tidak diketahui secara pasti latar belakang perubahan nama tersebut.
Setelah sekian lama berdiri dan seiring semakin tuanya kondisi fisik masjid serta pertambahan jamaah masjid sehingga bangunan masjid tidak lagi mampu menampung jamaah sholat jumat, maka pada tahun 1970-an dilaksanakan renovasi oleh panitia masjid. Nama-nama panitia masjid saat itu antara lain: H. Asnawi, H. Syahdan, H. Husin, H. Tarman, Sar,ie. Renovasi dilakukan dengan memperluas bangunan induk dengan mengganti dinding dengan kayu ulin, serta memperluas ruang mikrab dengan bangunan beton. Meski ruang mikrab diperluas, model kubahnya tetap seperti semula yakni kubah model bawang dengan pataka.
Sehubungan atap masjid banyak yang telah bocor, maka pada tahun 2009 dilakukan lagi renovasi dengan mengganti atap sirap dengan atap metal zincalum/roof. Pada saat penggantian inilah, beberapa hiasan ujung talang atap masjid (simbar, cabang) yang ada pada ketiga tingkatan atap masjid, dilepas atau tidak dikembalikan ke posisi semula.
Hiasan sejenis jamang (rumbai pilis, buntut hayam) pada Masjid Assu’ada Waringin yang lazim di sebut simbar, dapat dilihat pada atap Masjid Su,ada di desa Wasah Hilir Kabupaten Hulu Sungai Selatan, pada Masjid Syekh Abdul Hamid Abulung Sungai Batang, Martapura, Kabupaten Banjar, dan pada Masjid Quba di Amawang Kanan, Kabupaten Hulu Sungai Selatan (kini sudah tidak ada lagi, dan hanya dapat dilihat pada foto masjid sebelum mengalami renovasi).
Pada tahun 2010, kembali dilakukan pemugaran dengan mengganti bahan kayu sintok pada kubah bangunan induk menjadi kayu balangiran, serta membeton bangunan mikrab dan mengganti kubah migrab dengan bahan baru, meski bentuk kubahnya masih dipertahankan.
Bulan April 2012, masjid ini kembali direnovasi dengan cara meninggikan lantai masjid, namun ubin tua tetap dipertahan. Peninggian lantai dilakukan karena sebelumnya telah pernah terjadi banjir pasang yang nyaris menenggelamkan lantai masjid. Biaya meninggikan lantai masjid ini ditanggung sepenuhnya oleh warga keturunan Banjar asal Johor Malaysia, yang orang tuanya dahulu berasal dari desa Waringin.
Keaslian yang dapat dilihat pada masjid ini selain konstruksi atap tumpang yang masih dipertahankan adalah adanya hiasan puncak kubah bangunan induk yang disebut pataka (mustaka, memolo) dengan beberapa hiasan ujung talang masjid (simbar, cabang). Selain itu tiang utama atau soko guru, mimbar, ubin, beduk, dan 2 buah daun pintu dengan ukiran hiasan bermotif tumbuhan dan kaligrafi di sisi utara dan selatan juga masih dipertahankan. Dahulunya daun pintu itu ada 3 yakni satunya lagi ada di dinding masjid sebelah timur. Inskripsi berupa kaligrafi pada pintu masjid itu berbunyi: abubakar umar wallahu khalakakum wama ta’ maluna lailahaillalahu muhammadarrasulullahu usman ali.
Hingga sekarang, masjid ini tetap dikunjungi penziarah dari berbagai daerah. Pengunjung yang berziarah selain untuk memenuhi nazar, juga tertarik dengan kekunoan masjid ini. Saat berkunjung mereka biasa meletakkan untaian kembang di mimbar masjid. Sebagian pengunjung beranggapan bahwa atap masjid yang mempunyai tingkatan mempunyai makna: (a) Empat sahabat utama Rasul, yaitu Abubakar, Umar, Usman dan Ali; (b) empat mazhab besar dalam Islam yaitu Mazhab Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali; (c). Empat tingkat menuju kesempurnaan keyakinan dalam Islam yaitu Syariat, Tharikat, Hakikat dan Ma’rifat
-http://aladamyarrantawie.blogspot.com/
0 komentar:
Posting Komentar