DUSTA
Sifat kaum munafik yang paling dominan adalah dusta. Mereka mengklaim iman dan kebaikan, namun menyembunyikan kekufurandan kejahatan. Kedustaan mereka tidak hanya berkutat pada ucapan, namun juga dalam perbuatan dan interaksi, bahkan dusta dalam iman.
Dalam Surat at-Taubah banyak dibicarakan tentang kedustaan kaum munafik, seperti dusta dalam berinteraksi dengan Allâh dan Rasûl-Nya. Ini bisa dilihat dalam Surat at-Taubah ayat ke-90, juga ayat ke-77. Juga kedustaan terhadap para hamba Allâh di berbagai ayat, seperti dalam ayat 42-43; 62, 74, juga 93-96.
Sifat tersebut telah mendarah daging. Apabila kedustaan semata menurut hemat mereka tidak bisa merealisasikan tujuan, dan dikhawatirkan bisa menyingkap kedok mereka, maka tidak segan-segan mereka akan bersumpah palsu dan sarat dosa. Seperti yang Allâh Azza wa Jalla firmankan:
سَيَحْلِفُونَ بِاللَّهِ لَكُمْ إِذَا انْقَلَبْتُمْ إِلَيْهِمْ لِتُعْرِضُوا عَنْهُمْ ۖ فَأَعْرِضُوا عَنْهُمْ ۖ إِنَّهُمْ رِجْسٌ ۖ وَمَأْوَاهُمْ جَهَنَّمُ جَزَاءً بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ
Kelak mereka akan bersumpah kepadamu dengan nama Allâh, apabila kamu kembali kepada mereka, supaya kamu berpaling dari mereka. Maka berpalinglah dari mereka; karena sesungguhnya mereka itu adalah najis dan tempat mereka jahannam; sebagai balasan atas apa yang telah mereka kerjakan. [At-Taubah /9: 95]
وَلَيَحْلِفُنَّ إِنْ أَرَدْنَا إِلَّا الْحُسْنَىٰ ۖ وَاللَّهُ يَشْهَدُ إِنَّهُمْ لَكَاذِبُونَ
Mereka Sesungguhnya bersumpah: “Kami tidak menghendaki selain kebaikan.” Dan Allâh menjadi saksi bahwa sesungguhnya mereka itu adalah pendusta (dalam sumpahnya). [At-Taubah /9: 107]
Mereka tidak segan-segan untuk bersumpah palsu, dan tidak mau bertaubat darinya. Dan itu terus berlangsung pada mereka. Bahkan mereka bungkus sumpah mereka dengan bentuk sumpah yang berat, untuk menepis keraguan dan kecurigaan terhadap jati diri mereka. Allâh berfirman.
وَأَقْسَمُوا بِاللَّهِ جَهْدَ أَيْمَانِهِمْ لَئِنْ أَمَرْتَهُمْ لَيَخْرُجُنَّ ۖ قُلْ لَا تُقْسِمُوا ۖ طَاعَةٌ مَعْرُوفَةٌ ۚ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ
Dan mereka bersumpah dengan nama Allâh sekuat-kuat sumpah, jika kamu suruh mereka berperang, pastilah mereka akan pergi. Katakanlah: “Janganlah kamu bersumpah, (karena ketaatan yang diminta ialah) ketaatan yang sudah dikenal. Sesungguhnya Allâh Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. [An-Nûr /24: 53]
Surat At-Taubah –yang juga disebut juga Surat al-Fâdhihah (Yang menyingkap kebusukan mereka)- memaparkan kedustaan mereka dalam empat lini:
Mengaku beriman namun menyembunyikan kekufuran. Ini seperti firman Allâh
يَحْلِفُونَ بِاللَّهِ مَا قَالُوا وَلَقَدْ قَالُوا كَلِمَةَ الْكُفْرِ وَكَفَرُوا بَعْدَ إِسْلَامِهِمْ
Mereka (orang-orang munafik itu) bersumpah dengan (nama) Allâh, bahwa mereka tidak mengatakan (sesuatu yang menyakitimu). Sesungguhnya mereka telah mengucapkan perkataan kekafiran, dan telah menjadi kafir sesudah Islam… [At-Taubah/9:74]
Islam mereka di atas, baik itu Islam dalam arti sebenarnya lalu mereka murtad, ataupun Islam secara lahiriyah belaka karena takut terbunuh, namun yang jelas mereka telah menjadi kafir.
Mengaku mencintai dan loyal kepada kaum Mukminin, serta mengaku mereka bagian dari Mukminin, padahal mereka bukan termasuk kaum Mukminin, tidak dalam akidah, loyalitas, amalan, tidak pula dalam perangai.
Merekayasa alasan dan udzur. Ketika mereka diseru untuk berjihad dan berinfak, mereka berpangku tangan dan kikir.[1] Karena kaum munafik menganggap jihad adalah kerugian semata, maka menurut mereka tidak ada gunanya mempertaruhkan nyawa dan harta untuk hal yang tidak mereka yakini. Surat at-Taubah yang turun beriringan dengan Ghazwah Tabuk, membeberkan detail tentang sikap kaum munafik mengenai jihad, ketidakikutsertaan mereka dan dusta mereka dalam memberikan alas an mengapa mereka tidak ikut serta atau tidak menginfakkan harta (lihat At-Taubah ayat ke-42, 94-96).
Melegalkan kemaksiatan dan perbuatan busuk mereka. (lihat At-Taubah ayat ke-61-62).
Qatadah rahimahullah berkata, “Disebutkan kepada kami bahwa seorang munafik berkata (yaitu mengenai munafikin yang tidak turut serta pada Ghazwah Tabuk), “Demi Allâh! Sungguh mereka ini benar-benar orang pilihan dan terhormat dari kami. Kalaulah yang dikatakan Muhammad memang benar, pastilah mereka ini lebih jahat dari keledai.” Ucapan ini pun didengar seseorang dari Muslimin lalu ia berujar, “Demi Allâh! Sesungguhnya apa yang dikatakan Muhammad n benar-benar hak, dan engkau ini benar-benar lebih jahat dari keledai!” Iapun menyampaikan hal ini kepada Nabi Allâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus untuk memanggil orang tersebut. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata (kepada orang tersebut), “Apa yang memicumu untuk mengatakan apa yang kau ucapkan?” Orang tersebut justru mengumbar serapah[2] dan bersumpah atas nama Allâh bahwa ia tidak mengucapkannya. Lelaki Muslim itu berujar, “Ya Allâh! Tunjukkan kebenaran orang yang jujur dan dustakanlah si pendusta!” Maka Allâh pun menurunkan firman-Nya: Mereka bersumpah kepada kamu dengan (nama) Allâh untuk mencari keridhaanmu, [At-Taubah /9: 61-62]
PENGECUT
Seseorang yang ksatria, apalagi kaum Mukminin, mereka sangat antipati terhadap sifat pengecut. Di antara doa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah:
اللهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنَ الْهَمِّ وَالْحَزَنِ , وَالْعَجْزِ وَالْكَسَلِ , وَالْبُخْلِ وَالْجُبْنِ , وَظَلَعِ الدَّيْنِ وَغَلَبَةِ الرِّجَالِ
Ya Allâh! Sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari dari kesusahan, kesedihan, kelemahan, kemalasan, sifat bakhil, pengecut, tekanan lilitan hutang dan keadaan ditindas orang-orang.[3]
Sifat ini termasuk kriteria mereka yang paling kentara. Sebab pada asalnya, yang menggiring mereka berlaku nifak adalah rasa takut dan sifat pengecut; di mana itu mencegah munafik untuk menampakkan agama dan niat busuknya.
Surat At-Taubah menampakkan sifat pengecut ini yang paling kentara dalam dua hal:
Menampakkan iman dengan merahasiakan kekufuran. Juga berpura-pura loyal kepada kaum Mukminin namun memendam kecintaan kepada kaum kafir serta mengharapkan kekalahan Mukminin di tangan kaum kafir. Penipuan mereka inilah bentuk kepengecutan. Mereka tidak punya keberanian yang menjadikannya seperti orang kafir yang terang-terangan memusuhi kaum Muslimin. Sifat ini pasang surut sesuai dengan kondisi kaum Muslimin, guna menjamin eksisnya kepentingan mereka. Dan panggung sejarah membuktikan hakikat ini dengan jelas. Pada awalnya, para pengikut Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah kaum yang lemah; sedangkan kekufuran begitu kuat, dan mereka punya kuasa. Ketika itu tidak didapat kaum munafik. Bahkan terkadang kaum Muslim merahasiakan keislamannya karena takut akan kejamnya kaum kafir. Juga ketika hijrah ke Madinah, Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para Sahabatnya belum punya kekuatan. Barulah ketika Islam dan Muslimin menjadi kuat setelah perang Badr, kemunafikan mulai muncul. Yaitu ketika Abdullah bin Ubay berkata, “Ini adalah hal yang sudah jelas arahnya (yaitu kuatnya Rasûl dan muslimin), karena itu bai’atlah Rasûl Shallallahu ‘alaihi wa sallam .” Padahal sejatinya mereka tetap kafir. Dari situlah muncul kemunafikan di kalangan Madinah dan sekitarnya dari kalangan arab badui.
Mereka berpangku tangan dari jihad dan perang. Ini mendapat porsi yang cukup besar dalam Surat at-Taubah. Surat ini menerangkan keadaan final hubungan antara kaum Muslimin dengan kaum kafir, di mana terdapat di dalamnya perintah untuk memerangi kaum musyrikin semuanya. Dan ini membutuhkan mobilisasi massal untuk jihad. Di sinilah muncul tipe manusia yang ada di masyarakat muslimin, yang enggan berjihad.
Di antara bentuk kepengecutan yang dipaparkan dalam surat ini, bahwa untuk tidak ikut berjihad, mereka merekayasa alasan-alasan dusta. Mereka datang kepada Rasûl dengan pucat pasi, merenda kedustaan mereka. Allâh Azza wa Jalla berfirman yang artinya: Di antara mereka ada orang yang berkata: “Berilah saya keizinan (tidak pergi berperang) dan janganlah kamu menjadikan saya terjerumus dalam fitnah.” [At-Taubah /9: 49]
Ada pula orang-orang yang tak punya malu, karena saking takutnya, mereka tidak turut berperang dengan tidak datang dan tidak mengemukakan udzur (lihat At-Taubah ayat ke-90). Bentuk kepengecutan lain, bahwa bila khawatir kalau kaum Mukminin meragukan mereka, maka mereka tidak segan-segan bersumpah dusta. Dan kalaupun mereka terpaksa keluar bersama kaum muslimin, mereka dikuasai perasaan takut nan mencekam, seolah nyawa mereka telah sampai di tenggorokan!
KIKIR
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai suri tauladan bagi umatnya meminta perlindungan dari sifat kikir. Bakhil dan kikir salah satu sebab dari timbul dan berkembangnya sifat nifak dalam hati.[4]
Dalam hadits, bahwa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepada Bani Salimah, “Siapakah pemimpin kalian?” Mereka menjawab, “Jadd bin Qais, meski kami memandangnya orang bakhil.” Maka Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Adakah penyakit yang lebih parah dari bakhil? Akan tetapi pemimpin kalian adalah seorang pemuda dermawan lagi bersinar Bisyr bin al-Bara’ bin Ma’rûr.[5]
Ini karena ia salah seorang yang tertuduh sebagai munafik, yang dikenal di antara kaumnya sebagai orang bakhil yang senang menggenggam tangannya (kikir).[6]
Jiwa manusia memang lemah lagi kikir, kecuali yang dijaga oleh Allâh Azza wa Jalla . Dan penyakit ini tidak bisa dientaskan kecuali bila hati dipenuhi iman, yang terbebas dari belenggu ketamakan terhadap kemanfaatan semu. Karena hati yang penuh iman mengharapkan ganti yang lebih besar yaitu ridha Allâh, sehingga ia tidak takut jatuh melarat. Adapun bila hati lengang dari iman, maka sifat kikirnya akan bergejolak, enggan untuk menginfakkan hartanya. Terlebih lagi dalam urusan infak di jalan Allâh, kebakhilan mereka akan semakin menjadi-jadi, disebabkan mereka tidak beriman kepada hari akhirat, dan tidak percaya dengan ganti dari Allâh.
Kalaupun berinfak, itu karena terpaksa, takut kalau iman palsu mereka tersingkap.
MELANGGAR PERJANJIAN
Dari Abdullah bin Amr bin Ash ra berkata, bahwa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
أَرْبَعٌ مَنْ كنَّ فِيهِ كَانَ مُنافِقًا خَالِصًا، وَمَنْ كانَتْ فِيهِ خَصْلَةٌ مِنْهُنَّ كانَتْ فِيهِ خَصْلَةٌ مِنَ النِّفاقِ حَتّى يَدَعَهَا: إِذا اؤْتُمِنَ خَانَ، وَإِذا حَدَّثَ كَذَبَ، وَإِذا عاهَدَ غَدَرَ، وَإِذا خَاصَمَ فَجَرَ
Empat perkara yang bila ada pada diri seseorang, ia adalah munafik tulen. Dan bila salah satu dari perangai ini ada padanya, maka ada satu perangai nifak pada dirinya sampai ia meninggalkannya: bila dipercaya ia berkhianat, bila berbicara ia dusta, bila berjanji ia melanggar, dan bila berseteru ia berlaku fujûr (melenceng dari yang hak dan berbuat yang batil).”
Fenomena melanggar janji (al-ghadr) yang paling kentara pada orang munafik adalah bahwa ia hidup di tengah masyarakat Mukminin, di mana mereka menampakkan iman dan kebaikan padahal hati mereka penuh dengan kejahatan dan makar. Mereka ingin sekali mencelakakan kaum Mukminin.
Surat At-Taubah memaparkan tentang sikap kaum munafik yang suka melanggar perjanjian. Allâh Azza wa Jalla berfirman.
يَحْلِفُونَ بِاللَّهِ مَا قَالُوا وَلَقَدْ قَالُوا كَلِمَةَ الْكُفْرِ وَكَفَرُوا بَعْدَ إِسْلَامِهِمْ وَهَمُّوا بِمَا لَمْ يَنَالُوا ۚ وَمَا نَقَمُوا إِلَّا أَنْ أَغْنَاهُمُ اللَّهُ وَرَسُولُهُ مِنْ فَضْلِهِ ۚ فَإِنْ يَتُوبُوا يَكُ خَيْرًا لَهُمْ ۖ وَإِنْ يَتَوَلَّوْا يُعَذِّبْهُمُ اللَّهُ عَذَابًا أَلِيمًا فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ ۚ وَمَا لَهُمْ فِي الْأَرْضِ مِنْ وَلِيٍّ وَلَا نَصِيرٍ
Mereka (orang-orang munafik itu) bersumpah dengan (nama) Allâh, bahwa mereka tidak mengatakan (sesuatu yang menyakitimu). Sesungguhnya mereka telah mengucapkan perkataan kekafiran, dan telah menjadi kafir sesudah Islam dan mengingini apa yang mereka tidak dapat mencapainya, dan mereka tidak mencela (Allâh dan Rasûl-Nya), kecuali karena Allâh dan Rasûl-Nya telah melimpahkan karunia-Nya kepada mereka. Maka jika mereka bertaubat, itu adalah lebih baik bagi mereka, dan jika mereka berpaling, niscaya Allâh akan mengazab mereka dengan azab yang pedih di dunia dan akhirat; dan mereka sekali-kali tidaklah mempunyai pelindung dan tidak (pula) penolong di muka bumi. [At-Taubah /9: 54]
[dan mengingini apa yang mereka tidak dapat mencapainya] Ibnu Katsir berkata: “telah datang keterangan bahwa sekelompok kaum munafik hendak mencelakakan (membunuh) Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tatkala Beliau ada dalam perang Tabuk; yaitu di suatu malam kala dalam perjalanan. Mereka berjumlah belasan orang. Adh-Dhahhak berkata: Mengenai merekalah ayat ini turun.
Mereka telah berlaku khianat dan melanggar janji, padahal Allâh telah melimpahkan karunia kepada mereka dengan mengutus Nabi-Nya yang membawa berkah dan sebab-sebab kebahagiaan dan keselamatan. Namun disebabkan nifak, karunia ini tidak berbekas sama sekali pada hati mereka.
TIDAK BERILMU
Bisa memahami sesuatu dan berilmu adalah nikmat agung dari Allâh, sehingga derajat orang berilmu terangkat tinggi di dunia dan akhirat. Ilmu dan faham (al-fiqh) dalam arti hakiki adalah mengerti dan memahami tentang firman Allâh, dan mengamalkan apa yang menjadi konsekuensi pemahamannya ini.
Allâh menafikan ilmu dan pemahaman dari kaum munafik, karena pemahaman dan ilmu yang sempurna menuntut pengamalan. Kalau itu tidak ada pada mereka, maka ketika itu bisa diartikan ilmu dinafikan dari mereka. Mereka tidak bisa memahami bagaimana memanfaatkannya, meski paham akan arti lafaz-lafaznya.[7] Seperti halnya Allâh Azza wa Jalla menafikan akal dari mereka, padahal mereka punya akal yang bisa mereka gunakan untuk mengatur jalan hidup mereka. Namun karena mereka justru mengamalkan hal yang membahayakan mereka, padahal mereka mengetahuinya, maka jadilah mereka orang yang tidak berakal. Seperti inilah yang Allâh kisahkan tentang para penghuni neraka yang mengatakan: Dan mereka berkata: “Sekiranya kami mendengarkan atau memikirkan (peringatan itu) niscaya tidaklah kami termasuk penghuni-penghuni neraka yang menyala-nyala.” [Al-Mulk /67: 10]
Mereka tidak mengerti keagungan Allâh Azza wa Jalla dan sifat-sifat-Nya yang sempurna. Karena itu mereka menyangka bisa menipu Allâh Azza wa Jalla , padahal tidak lain mereka hanyalah menipu diri mereka sendiri. Mereka juga juga tidak mengerti sunah kauniyyah, bahwa pendusta dan penipu pasti akan tersingkap kebusukannya. Mereka juga tidak mengerti hakikat agama ini sebagai pembawa kebaikan dunia dan akhirat. Karena itu mereka selalu menghalangi setiap usaha untuk menegakkan agama ini dalam realita kehidupan. Mereka juga tidak mengerti kesudahan perbuatan mereka. Mereka tidak merasa tengah meniti jalan menuju kebinasaan. Seperti dalam ucapan mereka: dan mereka berkata: “Janganlah kamu berangkat (pergi berperang) dalam panas terik ini.” Katakanlah: “Api neraka jahannam itu lebih sangat panas(nya)” jika mereka mengetahui. [At-Taubah /9: 81]
SENANG DENGAN MUSIBAH YANG MENIMPA KAUM MUKMININ
Karena mereka mempunyai keyakinan, pemikiran dan visi yang berbeda dengan kaum Mukminin, maka tak heran lagi bahwa setiap kali musibah menimpa muslimin, mereka akan girang dan bersuka cita. Bahkan dengan segenap daya mereka akan berusaha menimpakan derita terhadap kaum Mukminin. Dan begitu sebaliknya, mereka akan berduka cita bila Muslimin berhasil menorehkan kemenangan dan kemajuan. Allâh Azza wa Jalla berfirman:
إِنْ تُصِبْكَ حَسَنَةٌ تَسُؤْهُمْ ۖ وَإِنْ تُصِبْكَ مُصِيبَةٌ يَقُولُوا قَدْ أَخَذْنَا أَمْرَنَا مِنْ قَبْلُ وَيَتَوَلَّوْا وَهُمْ فَرِحُونَ
Jika kamu mendapat suatu kebaikan, mereka menjadi tidak senang karenanya; dan jika kamu ditimpa oleh sesuatu bencana, mereka berkata: “Sesungguhnya kami sebelumnya telah memperhatikan urusan kami (tidak pergi perang)” dan mereka berpaling dengan rasa gembira. [At-Taubah /9: 50]
Musibah kaum Mukminin menurut kaum munafik akan mempercepat lenyapnya agama ini, agama yang menghambat laju kelezatan dan syahwat mereka, sehingga mereka pun bersuka cita. Sedangkan bila kaum Muslimin memperoleh kejayaan, maka ini menambah kuat agama ini, yang berarti mengekang luapan ketamakan dan syahwat mereka.
Allâh Azza wa Jalla mengajarkan kepada kaum Mukminin bagaimana menghadapi musibah ataupun kebaikan yang ada. Allâh Azza wa Jalla berfirman:
قُلْ لَنْ يُصِيبَنَا إِلَّا مَا كَتَبَ اللَّهُ لَنَا هُوَ مَوْلَانَا ۚ وَعَلَى اللَّهِ فَلْيَتَوَكَّلِ الْمُؤْمِنُونَ
Katakanlah: “Sekali-kali tidak akan menimpa kami melainkan apa yang telah ditetapkan Allâh untuk kami. Dialah Pelindung kami, dan hanya kepada Allâh orang-orang yang beriman harus bertawakal. [At-Taubah /9: 51]
Semua yang terjadi, baik menang atau kalah, kebaikan atau keburukan, itu semua adalah takdir dan ketetapan Allâh. Kaum Mukminin menyerahkan itu semua kepada-Nya, dan mengharapkan kebaikan semata dari-Nya, tidak pada selain-Nya.
Sebenarnya apa yang dinantikan kaum munafik terhadap Mukminin tidak lain adalah satu dari dua kebaikan (ihdal husnayain); apapun yang menimpa, keduanya sama-sama baik dan dicinta:
Menang atas musuh, dan di situ terdapat pahala, ghanimah dan keselamatan.
Terbunuh di jalan Allâh, dan itu artinya syahid di jalan Allâh, menggapai surga dan selamat dari nereka. Keduanya hal yang disuka.[8]
Sedangkan munafikin, sebenarnya yang dinanti mereka adalah turunnya adzab Allâh yang tanpa melalui tangan mukminin, atau Allâh akan membuat mukminin mampu menguasai munafikin, sehingga Allâh akan menyiksa mereka melalui tangan mukminin.
MENYELISIHI JANJI
Menepati janji merupakan kriteria seorang perwira, sedangkan ingkar janji adalah ciri para pengecut nan lemah jiwa. Sifat ini mencabut rasa percaya di antara personil masyarakat, dan membuat ragu dan was-was, serta melemahkan relasi antara sesama. Karena itu, Allâh Azza wa Jalla memerintahkan untuk memenuhi janji secara mutlak seperti dalam firman-Nya.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَوْفُوا بِالْعُقُودِ
Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu (perjanjian). [Al-Mâ’idah /5: 1]
Dan di antara yang disebutkan Rasûl mengenai sifat munafik adalah bila berjanji dia akan ingkar. Akad dan perjanjian yang paling agung adalah hak dan perjanjian Allâh. Maka karena kaum munafik adalah orang yang paling ingkar janji, merekapun ingkar terhadap janji Allâh dan apa yang telah mereka ikrarkan kepada-Nya.
Semoga Allâh menghindarkan kita dari perilaku dan perangai kaum munafik.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 12/Tahun XIX/1437H/2016M. Diterbitkan Yayasan Lajnah
0 komentar:
Posting Komentar