Selasa, 26 Juli 2016

K.H. Asmuni atau Guru Danau


K.H. Asmuni atau lebih dikenal dengan Abah Guru Danau dilahirkan pada tahun 1955 di Danau Panggang. Ayahnya bernama Haji Masuni dan ibunya bernama Hajjah Masjubah. Dia merupakan anak ketiga dari delapan bersaudara. Ayahnya berasal dari daerah Danau Panggang sedang ibunya beretnis Dayak Bakumpai berasal dari daerah Marabahan yang pindah ke Danau Panggang. Dari garis ibunya Guru Danau menjadi bagian dari zuriat Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari lewat nasab Datu Tuan Guru H.Abdussamad. Sewaktu kecil, Guru Danau bernama Zarkasyi. Oleh seorang habib yang bernama Habib Salim Mangkatip nama itu diubah menjadi Asmuni. Menurut Guru Danau, Asmuni itu berarti berharga.

Guru Danau hidup di lingkungan keluarga yang sederhana dan taat beragama. Orang tuanya dahulu bekerja sebagai buruh kapal dengan pendapatan yang pas-pasan. Pendapatan yang pas-pasan itu tidak menghalangi semangat orangtuanya untuk membiayai pendidikannya di sejumlah pesantren baik yang berada di Kalimantan Selatan maupun di Pulau Jawa. Guru Danau termasuk beruntung, karena tidak banyak orang di daerahnya yang mampu dan memiliki kesempatan untuk berangkat ke Pulau Jawa untuk belajar meski dalam waktu singkat.

Guru Danau menempuh pendidikan tingkat dasar di Madrasah Ibtidaiah Pesantren Mu‟alimin Danau Panggang (tamat tahun 1971) dan Madrasah Tsanawiyah Pesantren Mu‟alimin Danau Panggang (tamat tahun 1974). Setelah itu dia meneruskan studinya di tingkat atas (aliyah/ulya) di Pesantren Darussalam Martapura (tamat tahun 1977). Selama belajar di Martapura, selain belajar di Pesantren Darussalam, Guru Danau juga belajar dengan sejumlah ulama (tuan guru) yang bertebaran di Martapura. Salah satu ulama Martapura tempatnya belajar adalah Muhammad Zaini bin Abdul Ghani atau Guru Ijai (w. 2005), salah satu ulama karismatik yang disebut juga dengan nama Guru Sekumpul.

Setelah tamat di pesantren Darussalam, Guru Danau sempat pulang ke kampung halamannya. Tidak lama kemudian, pada tahun 1978, atas anjuran Guru Ijai dia kembali belajar di Pesantren Datuk Kalampaian Bangil di Jawa Timur. Di sini dia belajar dengan ulama Karismatik keturunan Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari, yaitu Kyai Haji Muhammad Syarwani Abdan (w. 1989). Sebelum ke Bangil, Guru Danau terlebih dahulu ke Wonosobo menemui para habaib yang ada di sana dan mengambil tarikat Naqsyabandiyah dari salah seorang habaib bersama dengan Habib Lutfi Pekalongan. Setelah selesai belajar di Bangil, Guru Danau tidak segera pulang, dia terus memperdalam pengetahuan agamanya dengan mengunjungi dan belajar secara singkat kepada sejumlah ulama. Salah satu diantara ulama tempatnya belajar adalah Kyai Haji Abdul Hamid Pasuruan. Kegiatan belajar singkat dengan sejumlah ulama di Jawa ini dilakukan oleh Guru Danau untuk mendapat berkah ilmu dengan bertemu dan belajar kepada mereka. Hanya saja, studi Guru Danau di Pulau Jawa terutama di Bangil tidak berlangsung lama, hanya beberapa bulan. Dia kembali ke kampung halamannya untuk membuka pengajian.

Pada tahun 1980 Guru Danau menikah dengan Hj. Jamilah yang berasal dari Bitin. Inilah satu-satunya istri Guru Danau. Dia tidak ingin melakukan poligami seperti yang dilakukan oleh beberapa ulama Banjar lainnya. Baginya, tidak ada alasan untuk dirinya beristri lebih dari satu. Apalagi dari perkawinannya itu, dia memperoleh tiga belas orang anak (enam putra dan tujuh putri). Dengan anak sebanyak ini, Guru Danau merasa tidak perlu menambah istri.

Setelah berumah tangga dan memiliki anak, aktivitas dakwahnya tidak terganggu. Malah sebaliknya, aktivitasnya semakin meningkat. Dia semakin aktif mengisi pengajian dan mengajar di pesantren. Seiring dengan itu, namanya pun semakin dikenal dan jadwal ceramahnya juga semakin padat. Di sela-sela kesibukannya itu, Guru Danau tidak lupa untuk tetap belajar. Secara rutin dia tetap mengikuti pengajian Guru Ijai di Martapura baik ketika masih di Keraton maupun setelah pindah ke Sekumpul. Guru Danau terus mengikuti pengajian Guru Ijai sampai sang guru meninggal dunia pada tahun 2005. Ketika ingin membuka pengajian, Guru Danau terlebih dahulu meminta izin kepada Guru Ijai. Sang Guru mengizinkan dengan syarat tidak boleh bapintaan (meminta dana dari masyarakat), harus memakai halat (dinding) yang memisahkan laki-laki dan perempuan, dan harus ikhlas. Agar seorang guru dapat ikhlas mengajar, dia harus memiliki kemandirian ekonomi. Dengan kemandirian ini, seorang guru dapat berkonsentrasi mengajar dan berdakwah tanpa mengharap imbalan uang.

Guru Danau membuka pengajian agama di Desa Bitin pada tahun 1978 (sebelum menikah) dan mengajar di Pesantren Salatiah. Pada tahun 1980, dia kembali membuka pengajian di kampung halamannya sendiri, Danau Panggang. Pada tahun-tahun awal, peserta pengajian Guru Danau di Bitin dan Danau Panggang tidak banyak. Bahkan, pada awal aktivitas dakwah dan pengajiannya itu, terdapat orang-orang tertentu yang tidak senang kepadanya.




Dia difitnah sebagai penceramah yang keras dan suka mengomel. Fitnah ini bertujuan agar orang tidak mau belajar kepadanya dan tidak mau mendengar ceramahnya. Untuk menangkal fitnah ini, Guru Danau memanfaatkan radio orari yang ramai digunakan ketika itu untuk menampilkan citra dirinya. Setelah dua bulan masyarakat mendengar ceramahnya, mereka pun menemukan gaya ceramah Guru Danau yang sesungguhnya. Ternyata Guru Danau tidak sejelek yang mereka bayangkan. Bahkan sebaliknya, mereka justru tertarik mengikuti pengajian dan ceramahnya.
Setelah fitnah itu terhenti dakwah melalui radio Orari ini dihentikan seiring dengan semakin bertambahnya jamaah yang menghadiri pengajiannya hingga lama-kelamaan mencapai ribuah orang. Pengajian di Bitin dilaksanakan pada Sabtu malam (malam Minggu) sedang di Danau Panggang dilaksanakan pada Senin Malam. Di Bitin, pusat pengajian bertempat di rumah Guru Danau di sekitar Pasar Bitin. Rumah ini terbuat dari kayu yang sederhana. Ruang dalam rumah yang dipakai untuk pengajian tidak luas. Tidak banyak jamaah yang bisa ditampung dalam rumah ini. Hanya mereka yang menjadi murid dekat sang guru atau tamu khusus saja yang dapat berada di sini. Karena tidak ada lapangan yang luas, ribuan jamaah pengajian menempati teras dan halaman rumah penduduk sekitar. Banyak dari mereka yang duduk berbaris di pinggir-pinggir jalan hingga mencapai beberapa kilometer. Hal serupa juga terjadi pada pengajian di Danau Panggang. Pusat pengajian bertempat di Mushalla Darul Aman, yang tepat berada di samping rumah Guru Danau. Mushalla Darul Aman merupakan mushalla kecil yang hanya mampu menampung puluhan jamaah. Ribuan jamaah yang jumlahnya lebih besar dari pengajian di Bitin harus menempati teras dan halaman rumah penduduk sekitar serta ruas jalan yang ada. Demikian juga demikian dengan mesjid yang ada disekitar tempat pengajian itu.

Pada dekade 1990-an (1998), Guru Danau kembali membuka pengajian di Mabuun Tanjung (Kabupaten Tabalong). Pada awalnya, Mabuun merupakan sarang pelacuran dan perjudian. Guru Danau berusaha memberantas penyakit sosial ini dengan cara menghubungi pihak-pihak berwenang untuk menutupnya. Namun usaha ini tidak berhasil. Akhirnya, beliau membuka pengajian di tempat itu.

Dengan adanya pengajian yang dihadiri oleh ribuan jamaah ini, praktik pelacuran dan perjudian itu berhenti dengan sendirinya. Pengajian di Mabuun ini kemudian menjadi pengajian Guru Danau yang terbesar karena dihadiri oleh puluhan ribu jamaah. Kuantitas jamaah yang hadir di tempat ini jauh lebih besar dibanding pengajian di Danau Panggang dan
Bitin.

Pengajian di Mabuun dilaksanakan pada malam Rabu setiap setengah bulan sekali. Jarak setengah bulan sekali (tidak seminggu sekali) dimaksudkan untuk memberikan kesempatan kepada jamaah pengajian untuk mengumpulkan uang untuk keperluan transportasi mendatangi tempat pengajian. Jamaah yang bertempat tinggal di kawasan Amuntai, Paringin, atau yang berada di kawasan Kalimantan Tengah (seperti Murung Raya) memiliki persiapan yang lebih luas untuk menghadiri pengajian di Mabuun. Komplek pengajian Guru Danau di Mabuun lebih luas dan lebih baik kondisinya dibanding pengajian di Bitin dan Danau Pannggang karena memiliki area yang lebih luas yang memungkinkan menampung puluhan ribu jamaah. Dengan kuantitas jamaah yang mencapai puluhan ribu jamaah ini, Pengajian Guru Danau di Mabuun disebut-sebut sebagai pengajian terbesar di kawasan Banua Anam.



Dengan jumlah jamaah pengajian yang begitu banyak, tidak aneh kalau murid Guru Danau tersebar di mana-mana di Banua Anam. Murid-murid Guru Danau terutama murid-murid awalnya sangat taat dan setia kepadanya. Bahkan, sebagiannya berkhadam (berkhidmat) kepadanya dengan setia. Jika Guru Danau bepergian ke suatu tempat untuk keperluan pengajian, ceramah, ziarah atau keperluan lainnya, murid-murid dekatnya selalu mengikutinya. Karena itu, tidak mengherankan jika konvoi iringan-iringan mobil rombongan Guru Danau mencapai puluhan bahkan seratus buah mobil. Jika rombongan ini melintas, segera menjadi perhatian masyarakat karena panjangnya iring-iringan itu. Bahkan, pernah Guru Danau mencarter dua pesawat untuk mengangkut dirinya dan rombongannya menuju Jakarta. Selama bepergian ke beberapa daerah terutama di wilayah Kalimantan Tengah, Guru Danau sering berganti-ganti mobil saat dalam perjalanan. Mobil ketika pergi dan ketika pulang berbeda. Menurut Guru Danau, hal ini dia lakukan untuk kepentingan keamanaan. Dia mengungkapkan, bagaimanapun ada saja orang-orang yang tidak senang dengannya. Misalnya, dia mengaku telah berhasil mengislamkan 1400 orang Kristen Dayak di wilayah dakwahnya. Ini tentu membuat pastur-pastur Kristen marah dan tidak senang kepadanya. Karena itu, kalau Guru Danau melakukan perjalanan ke wilayah Kalimantan Tengah atau melewati kampung-kampung Dayak dia selalu berhati-hati. Orang-orang yang tidak senang kepadanya bisa saja melakukan hal-hal yang tidak diinginkan seperti mencelakai dengan menggunakan parang maya (santet khas Dayak).

Materi pengajian yang disampaikan oleh Guru Danau di beberapa pengajiannya meliputi materi tauhid, fiqih, tasawuf, hadis, tafsir, kisah-kisah dan lainnya. Beberapa kitab yang pernah diajarkan oleh Guru Danau di pengajiannya, diantaranya adalah Irsyad al-‘Ibad (Zainuddin al-Malibari), Nasha`ih al-‘Ibad (Nawawi al-Bantani), Muraqi al-‘Ubudiyyah (Nawawi al-Bantani), Risalah al-Mu’awanah (Abdullah al-Haddad), Nasha`ih al-Diniyyah (Abdullah al-Haddad), Tuhfah al-Raghibin (Muhammad Arsyad al-Banjari), Syarah Sittin (Ahmad Ramli), Tanqih al-Qawl (Nawawi al-Bantani). Dilihat dari daftar kitab yang digunakan, Guru Danau lebih banyak menggunakan kitab-kitab berbahasa Arab daripada kitab Arab-Melayu. Walaupun begitu, pengajiannya tetap mudah diikuti oleh jamaah karena isi kitab-kitab itu diterjemahkan dan diberi penjelasan yang „ringan‟ oleh Guru Danau.

Cara penyampaian Guru Danau dalam pengajian maupun ceramahnya cukup unik. Guru Danau termasuk ulama yang sangat humoris. Dalam setiap ceramah atau pengajiannya dia selalu menyampaikan cerita-cerita lucu, joke-joke, pantun-pantun, dan singkatan yang diplesetkan yang memancing tawa. Bahkan, Guru Danau tidak segan bercanda dengan murid-muridnya yang berada pada baris depan. Gaya ceramah seperti ini sedikit banyaknya diwarisi Guru Danau dari gurunya, Guru Ijai. Guru Ijai juga sering menyisipkan humor dalam penyampaian pengajiannya termasuk bercanda dengan murid-murid pada lingkar terdepan pengajiannya. Bahkan, Guru Danau pernah mengatakan bahwa Guru Ijai itu lebih lucu (humoris) daripada dirinya. Baginya, humor itu penting disisipkan dalam ceramah pengajian agar orang awam dan orang tua dapat terus mengikuti pengajian tanpa merasa bosan dan berat. Dalam menyajikan isi kitab pengajian, Guru Danau hanya membaca beberapa baris saja. Tetapi penjelasannya cukup luas dan terkadang tidak selalu terfokus dan relevan dengan substansi kitab atau teks yang dibaca karena banyak disisipi oleh cerita, humor, ilustrasi, canda dan sebagainya. Teknik seperti ini tampaknya sangat disukai oleh jamaahnya. Selain mendapat tuntunan, mereka juga mendapat „hiburan‟ yang menyenangkan. Teknik ini merupakan salah satu daya tarik orang untuk menghadiri pengajian Guru Danau.

Cara penyampaian Guru Danau juga didukung oleh bahasa yang dominan digunakannya, yaitu bahasa Banjar. Bahasa ini merupakan bahasa yang digunakan mayoritas jamaahnya. Penggunaan bahasa lokal ini kemudian dibumbui dengan contoh-contoh dan Ilustrasi-ilustrasi yang pas dengan kondisi lokalitas sosiobudaya dan keseharian masyarakat sekitar sehingga isi ceramahnya sangat merakayat.
Dengan cara seperti ini materi yang disampaikannya mudah dipahami oleh jamaahnya yang berasal dari berbagai lapisan sosial. Daya tarik Guru Danau tidak hanya terletak pada kemampuannya dalam berdakwah tetapi juga adanya persepsi umum bahkan kepercayaan dari jamaahnya bahwa orang-orang yang mengikuti pengajian Guru Danau dapat menjadi kaya atau paling tidak membawa berkah berupa rezeki yang bertambah. Beberapa murid dekatnya menjadi bukti nyata. Contohnya adalah murid sekaligus sopir pribadinya yang telah memiliki kekayaan yang mencapai empat milyar rupiah. Murid-murid awalnya bahkan menyebutnya sebagai wali Allah. Beberapa kisah kekeramatan mengenai Guru Danau yang berasal dari murid-muridnya banyak yang mengarah pada meningkatnya rezeki orang-orang yang mengikuti pengajiannya. Mereka yang mengaji dengannya akan memiliki usaha yang berhasil dan mampu naik haji. Peningkatan kesejahteraan jamaah pengikut pengajiannnya seringkali dihubungkan dengan berkah Guru Danau. Persepsi ini ditambah dengan isi ceramah Guru Danau sendiri yang banyak mengarahkan dan memotivasi jamaah pengajiannya untuk giat bekerja dan hidup mandiri. Guru Danau menganjurkan jamaahnya untuk mengikuti para nabi. Tidak ada satu pun nabi yang tidak bekerja dalam hidupnya. Mereka bekerja dan hidup mandiri. Persepsi dan kepercayaan ini semakin terbangun dengan melihat pada figur Guru Danau sendiri sebagai ulama yang memiliki kekayaan dan penghasilan besar dari beberapa usaha bisnisnya.

Dari beberapa bisnis Guru Danau yang terpenting adalah usaha emas dan sarang burung walet di daerah Tanjung. Usaha ini ternyata menghasilkan keuntungan besar. Dari usaha bisnis emasnya, Guru Danau berhasil memiliki emas mencapai 30 kilogram. Dari usaha sarang burung walet Guru Danau juga meraih keuntungan milyaran rupiah. Usaha burung walet ini dipelajarinya dari seorang habib di Jawa. Usaha lainnya adalah membeli tanah sebagai investasi. Tanah itu bisa dijual suatu saat. Dari beberapa usahanya ini, Guru Danau mengakui bisnis sarang burung walet lebih disukainya daripada bisnis emas karena lebih mudah dan menghasilkan untung yang banyak.

Dengan pendapatan yang besar dari bisnisnya, wajar jika Guru Danau menjadi orang kaya. Dia memiliki 22 buah rumah dan memiliki beberapa mobil mewah (dua buah mobil jenis Alphard). Dengan jumlah rumah sebanyak itu, dia dapat menyediakan rumah masing-masing untuk ketiga belas anaknya.
Dengan mobil Alphard yang dimilikinya, dia dapat bepergian ke mana-mana dengan nyaman. Walaupun memiliki ini semua, Guru Danau tetap berpenampilan sederhana dan bersahaja. Rezeki yang cukup berlimpah ini tidak digunakan untuk bermegah-megah. Tetapi digunakannya untuk kepentingan dakwah Islam. Menurutnya, mereka yang mengurusi akhirat tidak seharusnya kalah dengan mereka yang mengurusi masalah dunia. Ulama yang memiliki usaha dan kekayaan sendiri akan lebih ikhlas dalam berdakwah dan mengajar karena tidak memiliki kepentingan untuk mendapat bayaran dari jamaahnya.
Dengan kemandirian dan kekayaan yang dimilikinya, Guru Danau dapat membiaya semua pembangunan komplek pengajian dan pesantren yang didirikannya tanpa bantuan pihak lain. Dia tidak mau meminta bantuan dana dari masyarakat (bapintaan) karena khawatir ada yang tidak ikhlas. Demikian juga dia tidak mau menerima dana yang berasal dari pemerintah dan partai politik. Menurutnya, jika satu kali saja mendapat bantuan pemerintah, ulama tidak bisa lagi untuk menasihati penguasa. Bahkan cenderung untuk dimanfaatkan oleh mereka yang memiliki kepentingan tertentu.
Kemandirian inilah yang membuat dirinya tidak bisa diintervensi dan didikte oleh penguasa dan partai politik. Dia juga menolak dana atau bantuan dan hadiah yang tidak jelas sumber dan status kehalalalannya. Hadiah yang diberikan oleh para pejabat berupa mobil atau lainnya juga tidak diterimanya. Meskipun tidak mau menerima pemberian atau bantuan pemerintah dan menjaga jarak dengan partai politik, Guru Danau tetap dekat dengan sejumlah pejabat. Dia bersedia menghadiri undangan ceramah dari para bupati dan gubernur dengan syarat pejabat yang bersangkutan menghadirinya. Dia tidak segan-segan memuji pejabat yang menurutnya memiliki reputasi baik dan sebaliknya juga tidak segan-segan memberi nasihat kepada pejabat yang menurutnya melalaikan kepentingan rakyat. Dia sering menasihati pejabat agar membuat jalan raya yang bagus untuk rakyat daripada hanya membangun perkantoran. Jalan yang baik jelas dinikmati rakyat tetapi kantor yang mewah hanya dinikmati oleh para pejabat.

Menurut penuturan seorang responden, Guru Danau pernah diundang untuk mengisi pengajian di Desa Brangas Kec. Alalak Kab. Barito Kuala. Beliau bukan hanya tidak mau menerima amplop yang telah disediakan panitia, tetapi beliau justru memberikan sumbangan uang untuk para jama'ah (masyarakat). Ini yang membuat masyarakat begitu terkesan.

Karamah Abah Guru Sekumpul "Masuk Islamnya sang Pelukis"


Kisah nyata ini di ceritakan langsung kepada penulis oleh H. Ismail, kini pemilik hotel Sekumpul, panajam Kalimantan Timur. H Ismail adalah orang yang dulu termasuk orang dekat Abah Guru Sekumpul. Beliau ini sering kali dipanggil Abah Guru berbagai keperluan, termasuk memijat Abah Guru Sekumpul saat abah Guru kecapean.

Suatu ketika Abah Guru Sekumpul memanggil H. ismail untuk minta pijat. H. Ismail pun datang memenuhi permintaan Abah Guru Sekumpul. disaat sedang memijat tersebut, Abah Guru berbicara dengan H. Ismail " mail coba lihat gambar (lukisan di dinding itu ") serta merta H. ismail mengarahkan pandangannya kearah dinding yang ada disana Lukisan foto Abah Guru Sekumpul.

Semula H. Ismail melihat tidak ada keanehan dengan lukisan tersebut. Namun ketika Abah Guru menyuruhnya melihat lagi terlihat aneh, lukisan itu bergerak gerak, matanya bisa melirik kekanan dan kekiri,bahkan lukisan itu tersenyum.

H. Ismail tersentak kaget dan mungkin saja jika tidak ada Abah Guru Sekumpul disampingnya, ia akan lari keluar kamar. Abah Guru Sekumpul cuma senyum melihat kejadian itu serta menjelaskan :
"mail itu lukisan nang melukis kada orang islam, tapi pasnya inya tuntung melukis inya dapat hidayah, lalu masuk islam". ( mail itu lukisan yang melukisnya bukan orang islam,tapi setelah dia selesai melukis dia mendapatkan hidayah, kemudian dia ber islam ).
Sungguh luar biasa,hanya sebuah lukisan dapat menggugah orang untuk memeluk agama islam.

sumber : buku 100 karamah dan kemulian Abah Guru Sekumpul

Jumat, 08 Juli 2016

Tata Cara Berwudhu Menurut Rasulullah SAW


Secara syari’at wudhu’ ialah menggunakan air yang suci untuk mencuci anggota-anggota tertentu yang sudah diterangkan dan disyari’at kan Allah subhanahu wata’ala. Allah memerintahkan:
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak melakukan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan , kedua mata-kaki (Al-Maaidah:6).
Allah tidak akan menerima shalat seseorang sebelum ia berwudhu’ (HSR. Bukhari di Fathul Baari, I/206; Muslim, no.255 dan imam lainnya).
Rasulullah juga mengatakan bahwa wudhu’ merupakan kunci diterimanya shalat. (HSR. Abu Dawud, no. 60).
Utsman bin Affan ra berkata: “Barangsiapa berwudhu’ seperti yang dicontohkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam, niscaya akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu, dan perjalanannya menuju masjid dan shalatnya sebagai tambahan pahala baginya” (HSR. Muslim, I/142, lihat Syarah Muslim, III/13).
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam bersabda: “Barangsiapa menyempurnakan wudhu’nya, kemudian ia pergi mengerjakan shalat wajib bersama orang-orang dengan berjama’ah atau di masjid (berjama’ah), niscaya Allah mengampuni dosa-dosanya” (HSR. Muslim, I//44, lihat Mukhtashar Shahih Muslim, no. 132).
Maka wajiblah bagi segenap kaum muslimin untuk mencontoh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam dalam segala hal, lebih-lebih dalam berwudhu’. Al-Hujjah kali ini memaparkan secara ringkas tentang tatacara wudhu’ Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam melakukan wudhu’:
1. Memulai wudhu’ dengan niat.
Niat artinya menyengaja dengan kesungguhan hati untuk mengerjakan wudhu’ karena melaksanakan perintah Allah subhanahu wata’ala dan mengikuti perintah Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa Salam.
Ibnu Taimiyah berkata: “Menurut kesepakatan para imam kaum muslimin, tempat niat itu di hati bukan lisan dalam semua masalah ibadah, baik bersuci, shalat, zakat, puasa, haji, memerdekakan budak, berjihad dan lainnya. Karena niat adalah kesengajaan dan kesungguhan dalam hati. (Majmu’atu ar-Rasaaili al-Kubra, I/243)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam menerangkan bahwa segala perbuatan tergantung kepada niatnya, dan seseorang akan mendapatkan balasan menurut apa yang diniatkannya… (HSR. Bukhari dalam Fathul Baary, 1:9; Muslim, 6:48).

2. Tasmiyah (membaca bismillah)
Beliau memerintahkan membaca bismillah saat memulai wudhu’. Beliau bersabda:
Tidak sah/sempurna wudhu’ sesorang jika tidak menyebut nama Allah, (yakni bismillah) (HR. Ibnu Majah, 339; Tirmidzi, 26; Abu Dawud, 101. Hadits ini Shahih, lihat Shahih Jami’u ash-Shaghir, no. 744).
Abu Bakar, Hasan Al-Bashri dan Ishak bin Raahawaih mewajibkan membaca bismillah saat berwudhu’. Pendapat ini diikuti pula oleh Imam Ahmad, Ibnu Qudamah serta imam-imam yang lain, dengan berpegang pada hadits dari Anas tentang perintah Rasulullah untuk membaca bismillah saat berwudhu’. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam bersabda: “Berwudhu’lah kalian dengan membaca bismillah!” (HSR. Bukhari, I: 236, Muslim, 8: 441 dan Nasa’i, no. 78)
Dengan ucapan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam: ”Berwudhu’lah kalian dengan membaca bismillah” maka wajiblah tasmiyah itu. Adapun bagi orang yang lupa hendaknya dia membaca bismillah ketika dia ingat. Wallahu a’lam.

3. Mencuci kedua telapak tangan
Bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam mencuci kedua telapak tangan saat berwudhu’ sebanyak tiga kali. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam juga membolehkan mengambil air dari bejancdengan telapak tangan lalu mencuci kedua telapak tangan itu. Tetapi Rasulullah melarang bagi orang yang bangan tidur mencelupkan tangannya ke dalam bejana kecuali setelah mencucinya. (HR. Bukhari-Muslim)

4. Berkumur-kumur dan menghirup air ke hidung
Yaitu mengambil air sepenuh telapak tangan kanan lalu memasukkan air kedalam hidung dengan cara menghirupnya dengan sekali nafas sampai air itu masuk ke dalam hidung yang paling ujung, kemudian menyemburkannya dengan cara memencet hidung dengan tangan kiri. Beliau melakukan perbuatan ini dengan tiga kali cidukan air. (HR. Bukhari-Muslim. Abu Dawud no. 140)
Imam Nawawi berkata: “Dalam hadits ini ada penunjukkan yang jelas bagi pendapat yang shahih dan terpilih, yaitu bahwasanya berkumur dengan menghirup air ke hidung dari tiga cidukan dan setiap cidukan ia berkumur dan menghirup air ke hidung, adalah sunnah. (Syarah Muslim, 3/122).
Demikian pula Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam menganjurkan untuk bersungguh-sungguh menghirup air ke hidung, kecuali dalam keadaan berpuasa, berdasarkan hadits Laqith bin Shabrah. (HR. Abu Dawud, no. 142; Tirmidzi, no. 38, Nasa’i )



5. Membasuh muka sambil menyela-nyela jenggot.
Yakni mengalirkan air keseluruh bagian muka. Batas muka itu adalah dari tumbuhnya rambut di kening sampai jenggot dan dagu, dan kedua pipi hingga pinggir telinga. Sedangkan Allah memerintahkan kita:
”Dan basuhlah muka-muka kamu.” (Al-Maidah: 6)
Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Humran bin Abaan, bahwa cara Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam membasuh mukanya saat wudhu’ sebanyak tiga kali”. (HR Bukhari, I/48), Fathul Bari, I/259. no.159 dan Muslim I/14)
Setalah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam membasuh mukanya beliau mengambil seciduk air lagi (di telapak tangan), kemudian dimasukkannya ke bawah dagunya, lalu ia menyela-nyela jenggotnya, dan beliau bersabda bahwa hal tersebut diperintahkan oleh Allah subhanahu wata’ala. (HR. Tirmidzi no.31, Abu Dawud, no. 145; Baihaqi, I/154 dan Hakim, I/149, Shahih Jaami’u ash-Shaghir no. 4572).
6. Membasuh kedua tangan sampai siku
Menyiram air pada tangan sampai membasahi kedua siku, Allah subhanahu wata’ala berfirman:
”Dan bashlah tangan-tanganmu sampai siku” (Al-Maaidah: 6)
Rasulullah membasuh tangannya yang kanan sampai melewati sikunya, dilakukan tiga kali, dan yang kiri demikian pula, Rasulullah mengalirkan air dari sikunya (Bukhari-Muslim, HR. Daraquthni, I/15, Baihaqz, I/56)
Rasulullah juga menyarankan agar melebihkan basuhan air dari batas wudhu’ pada wajah, tangan dan kaki agar kecemerlangan bagian-bagian itu lebih panjang dan cemerlang pada hari kiamat (HR. Muslim I/149)
7. Mengusap kepada, telinga dan sorban
Mengusap kepala, haruslah dibedakan dengan mengusap dahi atau sebagian kepala. Sebab Allah subhanahu wata’ala memerintahkan:
”Dan usaplah kepala-kepala kalian…” (Al-Maidah: 6).
Rasulullah mencontohkan tentang caranya mengusap kepala, yaitu dengan kedua telapak tangannya yang telah dibasahkan dengan air, lalu ia menjalankan kedua tangannya mulai dari bagian depan kepalanya ke belakangnya tengkuknya kemudian mengambalikan lagi ke depan kepalanya. (HSR. Bukhari, Muslim, no. 235 dan Tirmidzi no. 28 lih. Fathul Baari, I/251)
Setelah itu tanpa mengambil air baru Rasulullah langsung mengusap kedua telingannya. Dengan cara memasukkan jari telunjuk ke dalam telinga, kemudian ibu jari mengusap-usap kedua daun telinga. Karena Rasulullah bersabda: ”Dua telinga itu termasuk kepala.”(HSR. Tirmidzi, no. 37, Ibnu Majah, no. 442 dan 444, Abu Dawud no. 134 dan 135, Nasa’i no. 140)
Syaikh Al-Albani dalam Silsilah Ahadits adh-Dha’ifah, no. 995 mengatakan: “Tidak terdapat di dalam sunnah (hadits-hadits nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam) yang mewajibkan mengambil air baru untuk mengusap dua telinga. Keduanya diusap dengan sisa air dari mengusap kepala berdasarkan hadits Rubayyi’:
Bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam mengusap kepalanya dengan air sisa yang ada di tangannya. (HR. Abu Dawud dan lainnya dengan sanad hasan)
Dalam mengusap kepala Rasulullah melakukannya satu kali, bukan dua kali dan bukan tiga kali. Berkata Ali bin Abi Thalib ra : “Aku melihat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam mengusap kepalanya satu kali. (lihat _Shahih Abu Dawud, no. 106). Kata Rubayyi bin Muawwidz: “Aku pernah melihat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam berwudhu’, lalu ia mengusap kepalanya yaitu mengusap bagian depan dan belakang darinya, kedua pelipisnya, dan kedua telinganya satu kali.“ (HSR Tirmidzi, no. 34 dan Shahih Tirmidzi no. 31)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam juga mencontohkan bahwa bagi orang yang memakai sorban atau sepatu maka dibolehkan untuk tidak membukanya saat berwudhu’, cukup dengan menyapu diatasnya, (HSR. Bukhari dalam Fathul Baari I/266 dan selainnya) asal saja sorban dan sepatunya itu dipakai saat shalat, serta tidak bernajis.
Adapun peci/kopiah/songkok bukan termasuk sorban, sebagaimana dijelaskan oleh para Imam dan tidak boleh diusap diatasnya saat berwudhu’ seperti layaknya sorban. Alasannya karena:
Peci/kopiah/songkok diluar kebiasaan dan juga tidak menutupi seluruh kepala.
Tidak ada kesulitan bagi seseorang untuk melepaskannya.
Adapun Kerudung, jilbab bagi wanita, maka dibolehkan untuk mengusap diatasnya, karena ummu Salamah (salah satu isteri Nabi) pernah mengusap jilbabnya, hal ini disebutkan oleh Ibnu Mundzir. (Lihat al-Mughni, I/312 atau I/383-384).
8. Membasuh kedua kaki sampai kedua mata kaki
Allah subhanahu wata’ala berfirman: ”Dan basuhlah kaki-kakimu hingga dua mata kaki” (Al-Maidah: 6)
Rasulullah menyuruh umatnya agar berhati-hati dalam membasuh kaki, karena kaki yang tidak sempurna cara membasuhnya akan terkena ancaman neraka, sebagaimana beliau mengistilahkannya dengan tumit-tumit neraka. Beliau memerintahkan agar membasuh kaki sampai kena mata kaki bahkan beliau mencontohkan sampai membasahi betisnya. Beliau mendahulukan kaki kanan dibasuh hingga tiga kali kemudian kaki kiri juga demikian. Saat membasuh kaki Rasulullah menggosok-gosokan jari kelingkingnya pada sela-sela jari kaki. (HSR. Bukhari; Fathul Baari, I/232 dan Muslim, I/149, 3/128)
Imam Nawai di dalam Syarh Muslim berkata. “Maksud Imam Muslim berdalil dari hadits ini menunjukkan wajibnya membasuh kedua kaki, serta tidak cukup jika dengan cara mengusap saja.”
Sedangkan pendapat menyela-nyela jari kaki dengan jari kelingking tidak ada keterangan di dalam hadits. Ini hanyalah pendapat dari Imam Ghazali karena ia mengqiyaskannya dengan istinja’.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam bersabda: “…barangsiapa diantara kalian yang sanggup, maka hendaklahnya ia memanjangkan kecermerlangan muka, dua tangan dan kakinya.” (HSR. Muslim, 1/149 atau Syarah Shahih Muslim no. 246)
9. Tertib
Semua tatacara wudhu’ tersebut dilakukan dengan tertib (berurutan) muwalat (menyegerakan dengan basuhan berikutnya) dan disunahkan tayaamun (mendahulukan yang kanan atas yang kiri) [Bukhari-Muslim]
Dalam penggunaan air hendaknya secukupnya dan tidak berlebihan, sebab Rasulullah pernah mengerjakan dengan sekali basuhan, dua kali basuhan atau tiga kali basuhan [Bukhari]
10. Berdoa
Yakni membaca do’a yang diajarkan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam:

“Asyahdu anlaa ilaa ha illalah wa asyhadu anna Muhammadan ‘abdullahi wa rasuulahu. Allahummaj ‘alni minattawwabiina waja’alni minal mutathohhiriin (HR. Muslim, Abu Dawud, Tirmidzi, Nasa’i, Ibnu Majah)

Dan ada beberapa bacaan lain yang diriwayatkan dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam

untuk lebih jelasnya lihat video Habib Umar Alhafiz berwudhu

Semoga tulisan ini menjadi risalah dalam berwudhu’ yang benar serta merupakan pedoman kita sehari-hari.


Maksud Perkataan Syekh Muhammad Arsyad Albanjari Tentang Tidak Bolehnya Keluarga Mayyit Menyediakan Makanan


karena hari ini haulan datuk kita kalampayan,dan ada sebagian wahabers yg mengatakan bhw datu kalampayan sebenarnya melarang tahlilan haulan berdalil apa yg tertulis di kitab beliau Kitab Kuning Sabilal Muhtadin ditulis oleh Syaikh Muhammad Arsyad AlBanjari,Pada halaman 87 juz 2,
beliau mengatakan :
Makruh lagi bid'ah bagi yang kematian memperbuat makanan yang diserukannya sekalian manusia atas memakannya,sebelum dan sesudah kematian seperti yang sudah menjadi kebiasaan di masyarakat,
.
.
supaya jangan salah faham dgn ibaroh milik datuk kita yg agung ini,mari kita kaji dl,
.
.
jd di sini deskripsi masalahnya adalah:
bagi yang kematian memperbuat makanan yang diserukannya sekalian manusia atas memakannya
.
.
waktunya:
sebelum dan sesudah kematian
.
.
gambarannya:
seperti yang sudah menjadi kebiasaan di masyarakat
.
.
hukumnya:
makruh lagi bid'ah
.
.
guruku di ma'had 'aly (kh.hatim salman lc) dahulu di haulan kalampayan 3thn yg lalu didalam pagar beliau merincikan daftar pustaka kitab2 maraji' (pengambilan2) sabilal muhtadin ini,kebanyakannya diambil dr syarah dan hasyiah minhaj (mugni,tuhfah dan nihayah),
mari kt kembali ke permasalahan diatas,
jd masalah diatas ini datuk kt kalampayan sangat singkat saja beliau tls redaksinya,tp kalau kt kembali merujuk ke kitab tuhfahnya,maka akan kita temukan pembahasan panjang tentang masalah ini,beserta perincian khilafiahnya dan jg illat hukum nya,
aku sangat yakin permasalahan diatas ini beliau ambil dari kitab tuhfatul muhtaj,
begini ibaroh dalam ktb tuhfah:
.
.
(ﻭﻳﺤﺮﻡ ﺗﻬﻴﺌﺘﻪ ﻟﻠﻨﺎﺋﺤﺎﺕ) ﺃﻭ ﻟﻨﺎﺋﺤﺔ ﻭاﺣﺪﺓ ﻭﺃﺭﻳﺪ ﺑﻬﺎ ﻫﻨﺎ ﻣﺎ ﻳﺸﻤﻞ اﻟﻨﺎﺩﺑﺔ ﻭﻧﺤﻮﻫﺎ (ﻭاﻟﻠﻪ ﺃﻋﻠﻢ) ﻷﻧﻪ ﺇﻋﺎﻧﺔ ﻋﻠﻰ ﻣﻌﺼﻴﺔ ﻭﻣﺎ اﻋﺘﻴﺪ ﻣﻦ ﺟﻌﻞ ﺃﻫﻞ اﻟﻤﻴﺖ ﻃﻌﺎﻣﺎ ﻟﻴﺪﻋﻮا اﻟﻨﺎﺱ ﻋﻠﻴﻪ ﺑﺪﻋﺔ ﻣﻜﺮﻭﻫﺔ ﻛﺈﺟﺎﺑﺘﻬﻢ ﻟﺬﻟﻚ ﻟﻤﺎ ﺻﺢ ﻋﻦ ﺟﺮﻳﺮ ﻛﻨﺎ ﻧﻌﺪ اﻻﺟﺘﻤﺎﻉ ﺇﻟﻰ ﺃﻫﻞ اﻟﻤﻴﺖ ﻭﺻﻨﻌﻬﻢ اﻟﻄﻌﺎﻡ ﺑﻌﺪ ﺩﻓﻨﻪ ﻣﻦ اﻟﻨﻴﺎﺣﺔ ﻭﻭﺟﻪ ﻋﺪﻩ ﻣﻦ اﻟﻨﻴﺎﺣﺔ ﻣﺎ ﻓﻴﻪ ﻣﻦ ﺷﺪﺓ اﻻﻫﺘﻤﺎﻡ ﺑﺄﻣﺮ اﻟﺤﺰﻥ ﻭﻣﻦ ﺛﻢ ﻛﺮﻩ ﻻﺟﺘﻤﺎﻉ ﺃﻫﻞ اﻟﻤﻴﺖ ﻟﻴﻘﺼﺪﻭا ﺑﺎﻟﻌﺰاء ﻗﺎﻝ اﻷﺋﻤﺔ ﺑﻞ ﻳﻨﺒﻐﻲ ﺃﻥ ﻳﻨﺼﺮﻓﻮا ﻓﻲ ﺣﻮاﺋﺠﻬﻢ ﻓﻤﻦ ﺻﺎﺩﻓﻬﻢ ﻋﺰاﻫﻢ ﻭﺃﺧﺬ ﺟﻤﻊ ﻣﻦ ﻫﺬا ﻭﻣﻦ ﺑﻄﻼﻥ اﻟﻮﺻﻴﺔ ﺑﺎﻟﻤﻜﺮﻭﻩ ﻭﺑﻄﻼﻧﻬﺎ ﺑﺈﻃﻌﺎﻡ اﻟﻤﻌﺰﻳﻦ ﻟﻜﺮاﻫﺘﻪ ﻷﻧﻪ ﻣﺘﻀﻤﻦ ﻟﻠﺠﻠﻮﺱ ﻟﻠﺘﻌﺰﻳﺔ ﻭﺯﻳﺎﺩﺓ ﻭﺑﻪ ﺻﺮﺡ ﻓﻲ اﻷﻧﻮاﺭ ﻧﻌﻢ ﺇﻥ ﻓﻌﻞ ﻟﺃﻫﻞ اﻟﻤﻴﺖ ﻣﻊ اﻟﻌﻠﻢ ﺑﺄﻧﻬﻢ ﻳﻄﻌﻤﻮﻥ ﻣﻦ ﺣﻀﺮﻫﻢ ﻟﻢ ﻳﻜﺮﻩ
ﻭﻓﻴﻪ ﻧﻈﺮ ﻭﺩﻋﻮﻯ ﺫﻟﻚ اﻟﺘﻀﻤﻦ ﻣﻤﻨﻮﻋﺔ ﻭﻣﻦ ﺛﻢ ﺧﺎﻟﻒ ﺫﻟﻚ ﺑﻌﻀﻬﻢ ﻓﺄﻓﺘﻰ ﺑﺼﺤﺔ اﻟﻮﺻﻴﺔ ﺑﺈﻃﻌﺎﻡ اﻟﻤﻌﺰﻳﻦ ﻭﺃﻧﻪ ﻳﻨﻔﺬ ﻣﻦ اﻟﺜﻠﺚ ﻭﺑﺎﻟﻎ ﻓﻨﻘﻠﻪ ﻋﻦ اﻷﺋﻤﺔ ﻭﻋﻠﻴﻪ ﻓﺎﻟﺘﻘﻴﻴﺪ ﺑﺎﻟﻴﻮﻡ ﻭاﻟﻠﻴﻠﺔ ﻓﻲ ﻛﻼﻣﻬﻢ ﻟﻌﻠﻪ ﻟﻷﻓﻀﻞ ﻓﻴﺴﻦ ﻓﻌﻠﻪ ﻟﻬﻢ ﺃﻃﻌﻤﻮا ﻣﻦ ﺣﻀﺮﻫﻢ ﻣﻦ اﻟﻤﻌﺰﻳﻦ ﺃﻡ ﻻ ﺃﻣﺮ ﻣﺎ ﺩاﻣﻮا ﻣﺠﺘﻤﻌﻴﻦ ﻭﻣﺸﻐﻮﻟﻴﻦ ﻻ ﻟﺸﺪﺓ اﻻﻫﺘﻤﺎﻡ ﺑﺄﻣﺮ اﻟﺤﺰﻥ ﺛﻢ ﻣﺤﻞ اﻟﺨﻼﻑ ﻛﻤﺎ ﻫﻮ ﻭاﺿﺢ ﻓﻲ ﻏﻴﺮ ﻣﺎ اﻋﺘﻴﺪ اﻵﻥ ﺃﻥ ﺃﻫﻞ اﻟﻤﻴﺖ ﻳﻌﻤﻞ ﻟﻬﻢ ﻣﺜﻞ ﻣﺎ ﻋﻤﻠﻮﻩ ﻟﻐﻴﺮﻫﻢ ﻓﺈﻥ ﻫﺬا ﺣﻴﻨﺌﺬ ﻳﺠﺮﻱ ﻓﻴﻪ اﻟﺨﻼﻑ اﻵﺗﻲ ﻓﻲ اﻟﻨﻘﻮﻁ ﻓﻤﻦ ﻋﻠﻴﻪ ﺷﻲء ﻟﻬﻢ ﻳﻔﻌﻠﻪ ﻭﺟﻮﺑﺎ ﺃﻭ ﻧﺪﺑﺎ ﻭﺣﻴﻨﺌﺬ ﻻ ﺗﺘﺄﺗﻰ ﻫﻨﺎ ﻛﺮاﻫﺘﻪ ﻭﻻ ﻳﺤﻞ ﻓﻌﻞ ﻣﺎ ﻟﻠﻨﺎﺋﺤﺎﺕ ﺃﻭ اﻟﻤﻌﺰﻳﻦ ﻋﻠﻰ اﻷﻭﻝ ﻣﻦ اﻟﺘﺮﻛﺔ ﺇﻻ ﺇﺫا ﻟﻢ ﻳﻜﻦ ﻋﻠﻴﻪ ﺩﻳﻦ ﻭﻟﻴﺲ ﻓﻲ اﻟﻮﺭﺛﺔ ﻣﺤﺠﻮﺭ ﻭﻻ ﻏﺎﺋﺐ ﻭﺇﻻ ﺃﺛﻤﻮا ﻭﺿﻤﻨﻮا ﻭاﻟﺬﺑﺢ ﻋﻠﻰ اﻟﻘﺒﺮ ﻗﺎﻝ ﺑﻌﻀﻬﻢ ﻣﻦ ﺻﻨﻴﻊ اﻟﺠﺎﻫﻠﻴﺔ اﻩـ ﻭاﻟﻈﺎﻫﺮ ﻛﺮاﻫﺘﻪ ﻷﻧﻪ ﺑﺪﻋﺔ ﻓﻼ ﺗﺼﺢ اﻟﻮﺻﻴﺔ ﺑﻪ ﺃﻳﻀﺎ
.
.
untuk maknanya harap maknai sendiri ja lah,haha..karena kalau menterjemahkan tuhfah ini mudah aja,tp menerangkan fahamanx itu nah nang liwar ngalihnya,mun sekelas aku ni kdkw lgsg situ saini menerangkanx,harus dimuta'alahi bjr2 dl,lain mun sekelas alm abah guru sekumpul,alm ayah kh.abd syukur atau alm kh.ruyani (guru yani) atau guru asikin sei lulut,guru rifani kampg melayu,itu sdn biar kd bmuta'alahan gen lgsg kw nerangkan fahaman tuhfah ni,mun aku jujur ja kd sanggup menerangkan kecuali mutala'ah dl smpy 4 5x,,sdangkan pagi ini aku hndk tulak jw ke dalam pagar nah,jd kt menerangkan yg penting2 ja,,
.
.
jd ibarat yg ada di sabilal begini kan:
Makruh lagi bid'ah bagi yang kematian memperbuat makanan yang diserukannya sekalian manusia atas memakannya,sebelum dan sesudah kematian seperti yang sudah menjadi kebiasaan di masyarakat
.
ibarat yg ada di tuhfahnya begini:
ﻭﻣﺎ اﻋﺘﻴﺪ ﻣﻦ ﺟﻌﻞ ﺃﻫﻞ اﻟﻤﻴﺖ ﻃﻌﺎﻣﺎ ﻟﻴﺪﻋﻮا اﻟﻨﺎﺱ ﻋﻠﻴﻪ ﺑﺪﻋﺔ ﻣﻜﺮﻭﻫﺔ.
dan yg sdh menjadi kebiasa'an dari mengolahnya si ahli mayit akan makanan untuk menyarukan orang2 atas memakannya itu adalah bid'ah yg makruh
.
naah dari penyatuan 2 ibarat ini bisa kita fahami bhw ibarat yg ada di sabilal di kalimat " seperti yang sudah menjadi kebiasaan di masyarakat" ini bukanlah masyrakat banjar (zaman pengarang sabilal) tp masyrakat mesir atau mekah (zaman pengarang tuhfah)
.
lalu kenapa sampai ada timbul hukum kemakruhan dan kebid'ahan,ini yg di sabilal beliau tdk mengemukakan alasan atau illatnya,sehingga ini yg menjadi alasan wahabi melarang tahlilan dan haulan,dari fahaman mereka yg pendek itu,
pdhl datu kalampayan tdk ada sama skali menyinggung haulan maupun tahlilan dsini,kok bisa bisanya mereka para wahabi memberi kesimpulan spt itu,pantas lah mereka dberi predikat kaum pendek akal,hehe..
.
setelah kt merujuk ke dalam tuhfahnya ternyata kt dapati alasannya bkn melarang tahlilan dan haulan,tp yg dilarang itu niyahahnya (menggoret2,tdk ridho dgn kematian si mayit mengajak orang lain ikut bersedih lalu supaya marameakan dbuatkan makanan supaya orang bnyak datangan umpat menggoret2 jw lwn inya),
ini ibarat tuhfahnya (illatnya):
ﻟﻤﺎ ﺻﺢ ﻋﻦ ﺟﺮﻳﺮ ﻛﻨﺎ ﻧﻌﺪ اﻻﺟﺘﻤﺎﻉ ﺇﻟﻰ ﺃﻫﻞ اﻟﻤﻴﺖ ﻭﺻﻨﻌﻬﻢ اﻟﻄﻌﺎﻡ ﺑﻌﺪ ﺩﻓﻨﻪ ﻣﻦ اﻟﻨﻴﺎﺣﺔ
kata jarir: kami memasukkan dalam hukum niyahah (goret2) "berkumpulnya orang2 menuju ahli mayit dan membuatkan mereka makanan stlh dikubur"
ﻭﻭﺟﻪ ﻋﺪﻩ ﻣﻦ اﻟﻨﻴﺎﺣﺔ ﻣﺎ ﻓﻴﻪ ﻣﻦ ﺷﺪﺓ اﻻﻫﺘﻤﺎﻡ ﺑﺄﻣﺮ اﻟﺤﺰﻥ ﻭﻣﻦ ﺛﻢ ﻛﺮﻩ ﻻﺟﺘﻤﺎﻉ ﺃﻫﻞ اﻟﻤﻴﺖ ﻟﻴﻘﺼﺪﻭا ﺑﺎﻟﻌﺰاء
alasan pemasukan itu kpd niyahah,karena di dalamnya ada terdapat kekecewa'an yg bersengatan (modelnya kd tarima dgn kematian si mayit,lalu emosi meolah makanan habis2n ongkosnya,bakiawan orang skampungan), nah mun ada kejadian kyni jgn di datangi ahli mayitnya,itu makruh bid'ah,
tp mun beundangan tahlilan,haulan,kifayah,itu kdd hubunganx dgn mslh ini,krn itu bedakan mana tahlilah,mana haulan,mana niyahah,jgn disamakan
.
keringkasannya begini:
apa yg di tulis oleh datu kalampayan di atas itu td adalah kemakruhan membikin makanan oleh si ahli mayit,krn emosi berlebihan sehingga habis2n biaya khusus gasan membuat orang tertarik datang kerumahnya agar supaya sama2 dgn inya manangisan,sedih2n kd tarima takdir,ini alasannya,
amun membuat makanan untk mengundang orang tahlilan,haulan yg mana makanan ini di niatkan shadaqah untk si mayit yg telah wafat ini malahan dianjurkan oleh syari'at,begitu jg oleh datu kt kalampayan,krn itu haul besar2n itu termasuk melaksanakn sunah bkn bid'ah

(Copas dari tulisan Guru Awi Mahmud Hafizhohullah, alumni pertama Tahfizh al-Qur'an Darussalam).

Minggu, 03 Juli 2016

16 Kata Kata Mutiara kehidupan Al Allimul Al Allamah Abah Haji Guru Zuhdi


Banyak sekali kata kata,kalimat yang mengandung Hikmah yang di ucap kan oleh Al Allimul Al Allamah Abah Haji Guru Zuhdi Banjarmasin.
Setiap selesai mejelaskan satu bab dari ilmu maka di akhir penjelasan itu Abah Haji Guru Zuhdi akan menyimpulkan penjelasan ilmu itu dalam satu kalimat Hikmah. Dimana kalimat ini adalah kesimpulan dari penjelasan akan ilmu yg beliau terangkan.

Adapun kalimat dan ucapan Hikmah dari Abah Haji Guru Zuhdi.

  1. Masalah boleh datang dalam kehidupan kita tapi pandanglah selalu kebaikan Allah jangan meniadakan kebaikan Allah, Walau hidup susah tapi di mulut masih terucap Alhamdulilah.
  2. Barang siapa bisa melihat kisah Allah di dunia maka bisa melihat zat Allah di akhirat,Barang siapa tidak bisa melihat kisah Allah di dunia maka tidak bisa melihat dan buta dari melihat zat Allah di akhirat.
  3. Orang meminta dunia bukan untuk dunia tapi untuk ibadat,kerena ibadat menjadi kan orang jadi mulia, Minta panjangkan umur bukan untuk dunia tapi untuk ibadat.
  4. Bukan mati yang harus di takuti tapi pengertian saat menghadapi mati,bahwa mati ini ridho Allah maka akan mudah saat menghadapi mati.
  5. Jangan putus asa, Allah akan selalu mengampuni dosa hambanya.
  6. Orang putus asa adalah orang yang gagal dalam hidup, orang yang terus berjuang orang yang berhasil walau pun belum terlihat keberhasilan nya.
  7. Selalu sangka baik kepada Allah. Obat Penawar untuk selalu menerima apapun dari Allah dengan selalu KHUSNOZAN ( sangka baik kepada Allah)
  8. Apabila dapat rasa tidak punya kebaikan, maka selalu memandang kebaikan Allah maka itulah rasa yg benar, Dan saat memandang keadilan Allah, yang kita harapkan hanya lah Rahmat Allah, tidak memandang pada amal ibadat dan kebaikan diri,hanya selalu mengharap Rahmat Allah maka itulah rasa yang benar.
  9. Orang yang selalu berkhusnuzon bersangka baik maka akan meninggal dalam keadaan khusnul khotimah.
  10. Hidup jangan mencari pujian dan jangan merasa pantas di puji. Apabila di hina jangan merasa hinaan itu tidak pantas buat kita tapi hinaan itu pantas buat kita kerena kita penuh dengan kekurangan.
  11. Selalu belajar mengerti,belajar berkhusnozan, Kita mampu memaafkan orang kerena kita punya pengertian, Seluas pengertian seluas itu pintu maaf, seluas pengertian seluas itu dalam nya perasaan.
  12. Bila kita memandang akan diri maka pandang lah kekurangan kita, pandang lah dosa dosa kita, Dan Saat kita melakukan kebaikan,memandang kebaikan pada diri maka pandang lah ini Fadlun Minallah,ini semua Anugerah Allah.
  13. Orang yang asik memandang alam semesta maka terdinding dari Allah dan hanya meyakini akan Allah,tapi orang yang asik memandang kisah Allah di dalam alam semesta maka tidak terdinding dari Allah dan melihat Allah melihat kisah Allah melihat cerita Allah, Orang yang masih terdinding tidak bisa melihat (kisah)Allah tapi meyakini akan Allah.
  14. Orang yang menemani kita dan tahu kekurangan kita belum tentu masih mau berteman dengan kita tapi Allah tidak, Allah tetap menemani kita, Begitu pun Akhlaknya Rasulullah sebagai mazhar nya Akhlak Allah.
  15. Berharap kepada Allah mati dalam perlawanan nafsu walau tidak berhasil tapi ada usaha.
  16. Masuk rumah sakit bukan untuk sehat tapi untuk mencari ridho Allah. Sehingga masuk rumah sakit agar Allah senang kerena menjunjung perintah Allah,sehinngga saat tidak sembuh tidak lah sakit hati, Dan saat meninggal,maka meninggal dalam keadaan tidak berdosa, Dan meninggal dalam ridho Allah, Maka orang seperti ini di beri Allah kesempatan selalu memandang anugerah Allah.

sumber : Salman Yusrie alaydarus