Senin, 23 Oktober 2017

Adab Memasang Foto Ulama Dan Habaib


Ada seorang bertanya kepada Maulana al-Habib Muhammad Luthfi bin yahya, “Pada suatu hari Saat Kyai Abdul Jalil Kudus kerumah saya. Setelah duduk beberapa saat sambil memandangi Gambar-gambar yg menempel di dinding, beliau marahi saya. Beliau berkata lantang layaknya mubaliqh diatas podium dgn keras: ‘Turunkan Gambar-gambar ini!’ Padahal Gambar-gambar tersebut adalah lukisan Sayyidina Ali bin abi thalib, Sayyidina Hasan, Sayyidina Husein, Al imam Ghazali, asy-syekh Abdul Qodir Aljaelani dan para Sunan Wali songo.

Setelah Gambar itu saya turunkan, Kemudian beliau berkata: “Lebih baik engkau pasang Guru-gurumu, ulama-ulama sekarang dan Habaib yang engkau kenali sehingga engkau bisa Rabithah kepadanya.’yang ingin saya tanyakan adalah, bagaimana halnya dengan Gambar-gambar tersebut, yang Kiyai Abdul Jalil menyuruh menurunkannya?

Dan apa arti ucapan Rabithah? Mohon penjelasan dari Habib? Al-Habib Luthfi bin yahya menjawab: “apa yang dilakukan Kyai Abul Jalil tidak lain adalah karena sayangnya seorang guru kepada muridnya dan untuk mengarahkan agar tidak menyimpang dalam memahami sesuatu. Gambar seperti Imam Ghazali, misalnya dikhawatirkan gambar itu hanya imajinasi pelukisnya. Imam Ghazali hidup pada 800 tahun yang lalu bahkan lebih.

Kemudian Gambar-gambar seperti wali songo, itupun pelukisnya sendiri tidak menjumpai dan mengalami kehidupan mereka, sehingga gambar itu bisa saja diambil dari imajinasi. Maka ulama yg mengetahui akan hal itu menekankan, lebih baik memasang gambar – gambar yang jelas kebenarannya, yang mana banyak orang menyaksikan dan mengalami kehidupan mereka.



Ketika memandang foto-foto mereka, kita tidak akan terpengaruh khayaliyah si pelukis, karena saksi hidup dan potret itu sendiri sudah banyak disaksikan oleh orang2 yang hidup sezaman dengan mereka. Nah, agar tidak terpengaruh khayaliyah itulah, para kiyai sepuh lebih banyak menekankan agar murid-muridnya memasang Gambar-gambar tersebut.

Jadi melihat gambar yang belum dapat dipastikan benar atau tidak wajah2 mereka, karena pada zaman mereka belum ada teknologi fotografi.

Adapun kata Rabithah artinya adalah ‘menyatu’. Yang menyatu bukannya ruhnya, bukan pula fisiknya, akan tetapi menyatu dengan lembaran2 akhlak budi pekerti mereka dan cara mereka mendekatkan diri kepada Allah swt.

Itulah maka kita “Rabithah” kepada mereka. Selanjutnya dengan rabithah kita tersebut, maka kita dapat bercermin dengan segala panutan dan teladan yang ada pada diri mereka. Ada seseorang berkata pada Pangersa Abah Aos “maaf Abah saya hanya baru bisa Rabithah kepada Abah, abah menjawab” tidak apa yang penting jaga Rabithah kepada Allah swt dengan Zikir Qolbu.

Artikel Terkait

0 komentar:

Posting Komentar

Arsip Blog